JAKARTA,– Kasus keracunan makanan Gratis Bergizi (MBG) kembali terjadi di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), awal pekan ini.
Kebiasaan terulangnya kejadian yang sama menambah deret panjang kasus keracunan MBG sejak peluncuran awal pada Januari 2025.
Meskipun telah dilakukan pelatihan, evaluasi, dan rencana perbaikan yang terus-menerus, niatan BGN untuk menciptakan MBGnol kecelakaanmasih jauh dari api.
Mengenai kasus keracunan MBG di SMPN 8 Kupang, Nusa Tenggara Timur, Kepala BGN Dadan Hindayanan mengatakan pihaknya akan memeriksa penyebab terjadinya hal tersebut.
“Sedang diperiksa detail penyebabnya. Benar (SPPG selalu diberi pelatihan),” kata Dadan saat dihubungi, Rabu (22/7/2025).
Ketika ditanya apakah ke depannya akan ada sanksi tegas kepada SPPG yang terbukti lalai dan tidak menjalankan SOP dalam penyajian MBG sehingga menyebabkan keracunan, Dadan mengatakan akan terus melakukan perbaikan.
“Kita akan terus-menerus memperbaiki,” lanjut dia.
Perketat jaminan kualitas
Menanggapi kasus keracunan yang diduga disebabkan oleh Makanan Bergizi Gratis (MBG) di Kupang, Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PKB Zainul Munasichin meminta BGN memperketat mekanisme pengendalian kualitas MBG.
“Menurut saya, mekanismepengendalian kualitasdi masing-masing Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), sebelum makanan diantar ke sekolah atau penerima manfaat, harus diperketat lagi,” ujar Zainul, kepada , Rabu (23/7/2025).
Zainul menekankan salah satu hal yang dapat dilakukan adalah dengan memeriksa sampel makanan hasil olahan sebelum didistribusikan kepada penerima manfaat.
“Salah satunya dengan memaksimalkan metodetes cepat“di setiap Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi,” kata Zainul.
Aturan dan Sanksi
Di sisi lain, pakar kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah menegaskan bahwa program MBG masih memiliki kelemahan dalam tata kelola dan pengawasan di tingkat daerah.
Salah satu fokus utama adalah kelemahan peran pemerintah daerah dalam memastikan program berjalan dengan aman dan memberikan manfaat langsung kepada masyarakat sekitar.
“Saya melihat memang ini harus dibuat satu peraturan teknis yang mengatur mengenai tata kelola dan sanksi-sanksi itu,” kata Trubus saat dihubungi.
“Jika muncul keracunan-keracunan itu, itu sebenarnya adalah masalah pengawasan yang lemah, masalah pengawasan kualitas, masalah tata kelola yang tidak transparan,” tambahnya.
Ia menyoroti adanya ketimpangan pelaksanaan di setiap daerah yang belum diimbangi dengan pengawasan dan tanggung jawab yang memadai dari pemerintah daerah.
“Jadi, terkadang sama, tapi setiap daerah berbeda-beda. Pengawasan pemerintah daerah rendah. Tampaknya sudah, jika sudah diserahkan kepada dapur SPPG mereka (melepaskan tanggung jawab),” lanjut dia.