,Jakarta-Perempuandinilai memiliki peran penting dalam pencegahandemam berdarah dengue(DBD) di tingkatkeluargadan komunitas. Dokter Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Alergi Imunologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Sukamto mengatakan perempuan sering menjadi penggerak aksi di lingkup keluarga maupun komunitas.
Perempuan juga memiliki peran yang signifikan dalam menjaga ketahanan keluarga dan mengambil keputusan penting di dalam rumah tangga. “Perempuan menjadi jembatan informasi dan penggerak aksi di lingkup rumah tangga maupun komunitas. Salah satu tantangan besar yang dihadapi saat ini adalah meningkatnya risiko penyakit menular seperti demam berdarah, yang dapat menyerang siapa saja tanpa memandang usia, gaya hidup, atau tempat tinggal. Kita semua berisiko,” kata Sukamto.
“Pencegahan demam berdarah harus dilakukan secara menyeluruh melalui 3M Plus, perlindungan diri, dan metode inovatif seperti vaksinasi yang direkomendasikan oleh asosiasi medis,” katanya dalam pernyataan pers yang diterima Tempo pada pertengahan Agustus 2025.
Acara yang diselenggarakan PT Takeda Innovative Medicines bersama Yayasan Pengembangan Medik Indonesia (YAPMEDI) dan FKUI menjadi bagian dari rangkaian 13th Annual Women’s Health Expo & Bazaar 2025.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, hingga minggu ke-25 tahun ini terdapat 79.843 kasusdenguedengan 359 kematian (Case Fatality Rate/CFR) 0,45 persen. Pada tahun 2024, tercatat 257.455 kasus dengan 1.461 kematian. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai penyumbang tertinggi kasus dan kematian akibat demam berdarah di ASEAN.
Sukamto mengatakan bahwa orang dewasa yang memiliki penyakit penyerta seperti hipertensi, obesitas, diabetes, penyakit ginjal, dan paru-paru, berisiko lebih tinggi mengalami DBD berat. Ia menekankan perlunya edukasi kesehatan yang memberdayakan perempuan untuk melindungi keluarga.
Pada kesempatan yang sama, Dokter Spesialis Anak Konsultan Bernie Endyarni Medise mengingatkan anak-anak, terutama usia 5–14 tahun, merupakan kelompok yang paling rentan terkena DBD. Infeksi kedua pada anak justru berisiko menimbulkan gejala yang lebih berat. “Pencegahan menjadi kunci karena hingga saat ini belum ada pengobatan spesifik untuk demam berdarah,” katanya.
Menurut Bernie, gejala demam berdarah meliputi demam tinggi, nyeri kepala, mual, muntah, nyeri otot dan sendi, serta ruam kulit. Fase kritis terjadi saat demam menurun dan berisiko memicu syok demam berdarah jika tidak segera ditangani.
Direktur Eksekutif PT Takeda Innovative Medicines, Andreas Gutknecht, menegaskan bahwa timnya mendukung upaya pencegahan demam berdarah, termasuk melalui edukasi kepada perempuan sebagai pengurus kesehatan keluarga. Ia menyampaikan bahwa perempuan adalah inti dari keluarga dan komunitas yang sehat. “Kami percaya bahwa membangun keluarga yang sehat dimulai dari pemberdayaan perempuan, karena merekalah penggerak utama dalam setiap upaya perlindungan dan perawatan di rumah tangga,” katanya.