Pada suatu pagi, sebaris cita-cita muncul, remeh, dan tidak memiliki bobot sama sekali.
Bayangkan saja, setelah 15 tahun berjalan bersama berbagai perjalanan, pertemuan, peristiwa, dan kenangan-kenangannya, saya semakin menyadari bahwa terlalu sedikit yang bisa dituliskan. 15 tahun dengan 978 unggahan, penulis seperti apa ini?
Sastrawan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer pernah berkata, “Hidup sejatinya sederhana, yang rumit adalah tafsir-tafsirnya”. Apalagi ketika kamu sedang dimakan perlahan oleh luka hati dan kekecewaan. Dan, tetap saja menulis adalah sesuatu yang tidak hanya rumit, membutuhkan tafsir, tapi juga suasana batin tertentu beserta latihan konsistensi yang tidak cukup dilakukan dalam seminggu.
Sementara itu, di kesempatan lain, Pramoedya—terima kasih ya Mbah, tidak pernah menyerah dan setia berjuang dengan tulisan di negeri yang kini memiliki seorang Wakil Presiden yang ayahnya dulu pernah menjadi Presiden—juga berkata, “Seseorang boleh cerdas sekalipun setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Tepat di persimpangan agung antara hidup dan tafsir-menulis serta keabadian, bagi saya, Pramoedya sedang mengingatkan kita akan status kemuliaan manusia yang membedakan dirinya secara spesifik dengan yang “bukan manusia”. Tentu saja, kita juga tahu, sebagaimana dikisahkan sejarah, tidak sedikit manusia yang dengan senang hati membiarkan dirinya jatuh pada status “sub-manusia”.
Jadi, di hadapan drama pergulatan hidup manusia dan penulisan, cita-cita yang tiba-tiba pada saat fajar tengah bergerak sebagai momen transisi itu kini terlihat semakin tidak bisa dianggap remeh.
Begini, cita-cita tersebut berbicara.
Pada tahun 2025, dengan sisa semester kedua, saya harus menutup tahun dengan statistik 1000 unggahan di sini. Tidak ada kualifikasi untuk jenis karya tertentu—hanya “1000 karya” saja!
Sekarang ini, 1000 karya adalah kewajiban. Keharusan yang tidak memberi ruang bagi tawar menawar lain kecuali satu kata: selesaikan!
1000 karya yang diposting dari 978 mungkin adalah jarak yang sangat dekat. Hanya perlu 22 unggahan lagi. Ini sama artinya jika semester kedua masih menyisakan sekitar 180 hari di depan, maka masalahnya akan banyak berpusat pada diriku sendiri yang sedang menantang diriku sendiri.
Kemudian, pada saat yang sama, saya membutuhkan “masalah-masalah” yang memaksa suasana kebatinan bergerak untuk menyalinnya dalam bentuk tertulis. Artinya, stimulasi yang dibutuhkan seseorang yang menulis tanpa pernah benar-benar meningkatkan tingkatnya sebagai “penulis profesional” akan terus-menerus berputar pada kemampuan menyerap realitas dan menafsirkannya.
Digitalisme telah membuat manusia di hari-hari ketika Sore telah menjadi nama seorang perempuan sekaligus istri yang datang dari masa depan terkoneksi dengan banyak sekali masalah (termasuk tafsir-tafsirnya). Jadi masalah bukan lagi masalah.
Maka solusinya hanya satu, tapi (sekali lagi) tidak pernah bisa sederhana. Cepatlah temukan kembali energi kreatif itu. Energi yang pernah menghidupi produktivitas selama 5 tahun pertama ketika mulai berkecimpung dalam dunia penulisan di sini.
Menghidupkan kembali energi kreatif adalah percakapan diri yang sunyi. Ia seperti kawah di gunung berapi yang tertidur.
Momen kelahiran kembali diri mungkin terjadi melalui inisiatif yang dilatih, jadi tidak menunggu datang dari langit. Dalam rangkaian seperti ini, saya semakin menyadari bahwa beberapa hal di balik pengolahan kata-kata adalah pengalaman diri yang selalu kaya.
Nah, tinggal lihat saja irama prosesnya setelah tulisan ini berhenti pada kalimat penutup. Demikianlah ini ditulis kepada diri sendiri.