Prof. Dr. Murpin Josua Sembiring, S.E., M.Si.,
Ketua Asosiasi Guru Besar/Profesor Indonesia Provinsi Jawa Timur;
Dosen Utama Program Doktor Ilmu Manajemen Kewirausahaan Universitas Ciputra Surabaya.
Perubahan terbaru pada Undang-Undang BUMN yang baru saja disetujui oleh DPR pada 2 Oktober 2025 menjadi sebuah momen penting dalam sejarah pengelolaan perusahaan milik negara di Indonesia.
Sejak berlakunya UU No. 19 Tahun 2003, diskusi tentang perubahan menyeluruh selalu muncul. Kini, masyarakat memiliki harapan besar: apakah BUMN benar-benar akan menjadi penggerak pembangunan, atau tetap menjadi “sapi perah politik” yang melelahkan rakyat?
Pandangan Baru: Dari Kementerian BUMN ke Lembaga Pengawas BUMN.
BP BUMN saatnya mengikuti Petunjuk Pelaksanaan Tata Kelola Perusahaan Badan Usaha Milik Negara (Petunjuk Tata Kelola Perusahaan SOE)yang menjadi acuan internasional yang diterbitkan olehOrganisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD)menetapkan pedoman tata kelola perusahaan milik negara (Perusahaan Umum/PU) agar lebih jelas, bertanggung jawab, efektif, dan sejajar dengan perusahaan swasta.
Salah satu perubahan yang sangat menonjol adalah perubahan Kementerian BUMN menjadi Badan Pengaturan BUMN (BP BUMN).
Dengan posisi sebagai regulator sekaligus perwakilan pemilik, BP BUMN diharapkan mampu menjaga jarak dari campur tangan politik yang sering mengganggu profesionalisme.
Keberadaan BPI Danantara sebagai induk holding investasi juga disebut-sebut menjadi Temasek versi Indonesia, yang bertujuan menggabungkan ribuan entitas BUMN agar lebih efisien dan fokus pada bisnis intinya, tanpa perlu mendirikan anak usaha hingga “cicit” usaha BUMN tanpa perhitungan yang matang hanya agar jabatan di direksi BUMN menjadi lebih menonjol dan seringkali orang yang sama menjabat di induk maupun di anak perusahaan BUMN tersebut.
Namun inti pertanyaannya adalah: apakah perubahan institusi secara otomatis menjamin peningkatan tata kelola? Tanpa komitmen nyata terhadap kemandirian, perubahan nama bisa hanya sekadar wajah baru.
Larangan Rangkap Jabatan.
Etika Pagar atau Tambahkan Tantangan Baru? Putusan Mahkamah Konstitusi 2025 Nomor Putusan 21/PUU-XXIII/2025 yang melarang pejabat negara menjabat sebagai komisaris atau direksi BUMN merupakan langkah penting.
Sejauh ini, laporan mengungkap bahwa lebih dari 30 wakil menteri menjabat posisi di BUMN. Keadaan ini jelas menimbulkan konflik kepentingan. Dengan larangan yang jelas, masyarakat berharap nepotisme dan politik balas budi dapat diminimalisir.
Namun, kenyataannya, “tekanan politik tidak resmi” masih terus mengancam. Siapa yang menjamin bahwa penunjukan komisaris berikutnya tidak lagi didasarkan pada kedekatan dan “pembayaran” politik? Uji kelayakan yang benar-benar profesional harus menjadi batas terakhir, bukan sekadar prosedur formal.
Fakta Menyedihkan: 52 persen BUMN Masih Mengalami Kerugian.
Mari berbicara angka. Sampai tahun 2024, ekosistem BUMN mencakup sekitar 1.046 entitas (induk, anak, cucu). Ironisnya, lebih dari 52% entitas mengalami kerugian, sementara 97% dividen negara hanya berasal dari delapan perusahaan besar: Pertamina, Telkom, Bank Himbara, dan beberapa lainnya.
Jumlah aset BUMN tergolong luar biasa, yaitu sebesar Rp10.950 triliun, namun potensi keuntungan masih tidak merata. Informasi tersebut disampaikan dalam laporan ekonomi tahun 2025 yang diungkapkan Dony Oskaria, pejabat Danantara (Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara).
Jika pola ini terus berlangsung, BUMN hanya akan menjadi “pahlawan kesiangan” yang mendukung APBN melalui dividen dari sejumlah kecil perusahaan, sementara ratusan entitas lainnya memberatkan keuangan negara.
Risiko Lama yang Menghantui. Meskipun UU terbaru berusaha memperbaiki banyak kelemahan, beberapa tantangan tetap masih menghiasi:
1. Campur tangan politik dalam pemilihan direksi dan komisaris masih bisa terjadi,
2. Pembangunan kekuasaan: keturunan usaha yang dibentuk tanpa perencanaan bisnis yang matang,
3. Kewajiban layanan publik (PSO) yang sering tidak diberi kompensasi sepenuhnya, menyebabkan BUMN memikul beban kebijakan pemerintah,
4. Korupsi yang merajalela dan tindakan penipuan dalam pengadaan proyek strategis, mulai dari reputasi buruk Jiwasraya hingga Garuda Airways dengan skandal penyelundupan motor Harley-Davidson, sepeda Brompton, serta pembelian mesin dari Rolls-Royce/Airbus; dugaan korupsi terkait emas ilegal seberat 109 ton di PT Antam dan berbagai kasus lainnya yang semuanya telah menunjukkan kelemahan sistem pengawasan di lingkungan BUMN selama ini.
Tanpa adanya “sunset clause” atau aturan batas waktu untuk BUMN yang terus mengalami kerugian (wajib dihentikan), istilah efisiensi bisa menjadi sekadar omong kosong, sementara para direksi, dewan komisaris, dan dewan pengawasnya masih tetap menerima “TANTIEM”.
Seberapa buruk profesionalisme dan rusaknya hati nurani penerima Tantiem tersebut.
Harapan Masyarakat: Mulai dari Pemberdayaan UMKM dan Koperasi hingga Kejelasan Informasi.
Harapan masyarakat yang sederhana namun nyata: Pemangkasan portofolio: tujuannya adalah mengurangi jumlah entitas dari sekitar 1.046 menjadi sekitar 300–400 agar lebih fokus.
Kemitraan nyata dengan UMKM dan koperasi: transaksi melalui platform PaDi UMKM serta koperasi desa dan Koperasi Merah Putih diharapkan mencapai minimal 5–10 persen dari pengadaan non-strategis BUMN.
Pemberdayaan ultra mikro (UMi): kolaborasi antara BRI, PNM, dan Pegadaian perlu mampu mengangkat pelaku usaha rakyat (UMKM) ke level yang lebih tinggi serta menembus pasar global.
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) serta koperasi perlu memiliki kemampuan produksi yang standar agar dapat menjadi mitra pemasok makanan dan minuman serta bagian dari bisnis inti di BUMN yang relevan.
Transparansi publik: laporan triwulanan mengenai pengeluaran untuk UMKM, jumlah anak perusahaan, serta kinerja direksi harus diumumkan, laporan kinerja keuangan dan non keuangan harus disampaikan secara terbuka kepada masyarakat dan masing-masing anak usaha BUMN melaporkannya secara terpisah.
Total aset konsolidasi BUMN pada 2024 sebesar Rp10.950 triliun. Kualitas aset yang tidak produktif (Idle/Low Return Assets) meliputi tanah, bangunan, atau investasi non-strategis yang tidak memberikan arus kas yang memadai.
Banyak aset yang tercatat dalam neraca memiliki ukuran besar, namun tidak menghasilkan pengembalian yang cukup serta memiliki rasio aset terhadap laba yang tinggi (asset-heavy, profit-light), dan banyak lahan milik BUMN yang belum dimanfaatkan.
Tanpa kejelasan, segala perubahan dari BUMN berubah menjadi BP BUMN hanya akan berakhir sebagai dokumen resmi yang segera diabaikan tanpa indikator yang jelas.
Mempelajari Dunia: Temasek, Equinor, Emirates
BP BUMN tidak perlu mencari contoh dari BUMN negara lain yang sukses di dalam negeri maupun dunia. Temasek (Singapura) berhasil mengembangkan portofolio global dengan tata kelola yang sangat baik.
Equinor (Norwegia) berhasil berubah dari perusahaan minyak menjadi pemimpin dalam energi terbarukan.
Emirates Airlines memposisikan Dubai sebagai pusat penerbangan global, sedangkan Garuda Indonesia ingin menuju ke mana? Apa kuncinya? Profesionalisme, minimnya campur tangan politik, serta pola pikir wirausaha dan pengusaha BUMN untuk menembus pasar internasional.
Perusahaan milik negara Indonesia perlu mengikuti jalur ini. Pertamina, PLN, dan Pelindo harus memandang Asia Tenggara serta dunia sebagai pasar, bukan hanya sebagai pemain monopoli di dalam negeri.
Di sini diperlukan para pemimpin di BUMN yang memiliki visi jauh ke depan, kemampuan setara dengan pengusaha sektor swasta/intrapreneur, serta pola pikir yang penuh semangat kewirausahaan.
UU BUMN Tahun 2025 Ini: Kesempatan atau Bayangan?
UU BUMN 2025 merupakan momen penting dalam sejarah. Larangan jabatan ganda, pembentukan BP BUMN, serta konsolidasi melalui Danantara semuanya bertujuan untuk menciptakan tata kelola yang lebih baik. Jumlah komisaris di induk BUMN secara keseluruhan adalah sekitar 562 orang dengan komposisi: 46% birokrat, 30% politisi, dan hanya 24% profesional (data pemetaan tahun 2025). BP BUMN membutuhkan sistem desain awal peringatan dini serta forensik dengan dashboard alur kas, analisis penipuan lintas portofolio, dan audit berkala.
Namun, hukum hanya berfungsi sebagai batas; nasib BUMN ditentukan oleh konsistensi pada tingkat pelaksanaan/eksekutornya.
Jika para elit politik masih memandang BUMN sebagai sumber keuntungan, maka perubahan UU ini hanya akan menjadi mimpi belaka.
Namun jika komitmen tersebut dijalankan, saatnya BUMN benar-benar menjadi penggerak pembangunan nasional yang profesional, efisien, dan memberikan kontribusi langsung kepada rakyat sambil memperkuat dasar ekonomi Indonesia.
Dan masyarakat memiliki hak untuk terus mengawasi, agar “sapi perah” politik benar-benar berubah menjadi mesin ekonomi negara yang memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.