Menginap di Rumah Perwira Jepang dan Meminjam Mesin Tik Milik Militer Jerman, Naskah Proklamasi Disusun Hanya Dalam Tempo 2 Jam

Forum Kota – Banyak orang tidak tahu, naskah atau teks Proklamasi hanya disusun dalam waktu kurang dari 2 jam. Naskah itu disusun di rumah perwira tinggi Angkatan Laut Jepang di Indonesia, Laksamana Tadashi Maeda atau lebih dikenal dengan sebutan Laksamana Maeda.

Rumah itu kini menjadi Museum Perumusan Naskah Proklamasi, dan menjadi saksi bisu lahirnya teks proklamasi yang mengguncang dunia.

Aidil Fitra, edukator museum Perumusan Naskah Proklamasi, menjelaskan peristiwa bersejarah itu berjalan sangat cepat, hanya dalam waktu sekitar 6 jam.

Setelah kembali dari Rengasdengklok pada malam 16 Agustus 1945, Soekarno, Hatta, dan tokoh lain membutuhkan tempat aman untuk merumuskan naskah proklamasi. Ahmad Soebardjo kemudian menghubungi Tadashi Maeda yang memang sudah akrab dengan sejumlah tokoh Indonesia.

“Pada sekitar pukul 22.00 WIB tanggal 16 Agustus, tokoh-tokoh ini datang ke rumah Maeda. Di sanalah akhirnya mereka memutuskan bahwa rumah Maeda akan dijadikan tempat untuk menyusun naskah proklamasi,” kata Aidil saat diwawancarai., Kamis (14/8).

Rumah Tadashi Maeda terdiri dari dua lantai. Lantai dua digunakan sebagai kamar dan ruang pribadi Tadashi Maeda bersama keluarganya.

Sementara di lantai dasar, merupakan ruang di mana semua rangkaian peristiwa pembuatan naskah Proklamasi itu terjadi.

Tidak ingin terlibat lebih jauh, Tadashi Maeda langsung naik ke lantai dua untuk beristirahat selama proses penyusunan naskah proklamasi.

“Pada saat itu, Maeda langsung pergi ke lantai dua untuk beristirahat. Artinya, pada saat itu Maeda tidak terlibat dalam penyusunan Naskah Proklamasi ini,” katanya.

 

Pada 17 Agustus sekitar pukul 02.00 WIB dini hari, ketiga tokoh, yaitu Soekarno, Hatta dan Ahmad Subarjo mulai merumuskan naskah proklamasi. Naskah yang telah dibuat kemudian dibacakan kepada sejumlah tokoh lainnya yang hadir di rumah Tadashi Maeda.

Setelah disetujui, baru kemudian disepakati bahwa naskah proklamasi hanya akan ditandatangani oleh Soekarno dan Hatta.

“Nah, yang mengusulkan ini ada beberapa orang, diantaranya itu ada dari Muhammad Hasan, tokoh asal Sumatera. Kemudian juga Chaerul Saleh. Dan akhirnya semua itu sepakat atas penguatan dari Soekarni,” jelasnya.

Setelah tercapai kesepakatan, naskah yang masih berupa tulisan tangan itu kemudian diketik menggunakan mesin ketik oleh Sayuti Melik. Mesin ketik yang digunakan oleh Sayuti Melik merupakan hasil pinjaman dari Hermann Kandeler, milik kantor militer Jerman, yang berada di sekitar Gambir.

Mesin ketik itu dipinjam langsung oleh asisten rumah tangga (ART) Laksmana Maeda, Satsuki Mishima.

“Jadi, karena memang mesin ketik Maeda tidak ada atau tidak memiliki huruf Latin, jadi harus dicari terlebih dahulu mesin ketik dengan huruf Latin, yang pada waktu itu Nyonya Satsuki Mishima sendiri yang akhirnya mengunjungi kantor militer Jerman,” jelasnya.

 

Dengan mesin ketik manual itulah naskah proklamasi diketik. Sayuti Melik didampingi oleh jurnalis Burhanuddin Mohammad (B.M) Diah.

Saat mengetik, Sayuti Melik beberapa kali salah. Kertas-kertas coretan itu justru diselamatkan oleh BM Diah yang kemudian menyimpannya selama puluhan tahun.

“Kertas-kertas sampah itu ada di dekat mesin ketik. Nah di situlah BM Diah mengambilnya. Dan disimpan lalu dikembalikan sekitar tahun 1992,” jelas Aidil.

Proses penyusunan dan pengetikan naskah proklamasi selesai sekitar pukul 04.00 WIB. Para tokoh yang hadir kemudian disajikan menu sahur oleh Tadashi Maeda.

Setelah makan sahur, sebagian tokoh kembali ke rumah masing-masing. Barulah teks proklamasi dibacakan di depan kediaman Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur 56, yang kini diberi nama Jalan Proklamasi.

Dari Rumah Kolonial menjadi Museum

Bangunan dua lantai ini awalnya dibangun pada tahun 1927 oleh arsitek Belanda Johan Frederik Lodewijk Blankenberg, untuk perusahaan asuransi Jiwasraya. Pihak pertama yang menempatinya justru orang Inggris dengan sistem sewa jangka panjang.

Namun, sejarah berkata lain. Ketika Jepang menduduki Indonesia, rumah tersebut ditempati oleh Laksamana Muda Tadashi Maeda, perwira Angkatan Laut Jepang.

“Jadi, jika disebut ini rumah Tadashi Maeda sebenarnya bangunan ini hanya ditempati oleh Tadashi Maeda selama masa pendudukan Jepang,” jelas Edukator Museum, Aidil Fitra.

Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, bangunan bersejarah ini pernah berubah fungsi menjadi Markas Tentara Inggris. Setelah masa perang mereda, bangunan tersebut kemudian disewa oleh Kedutaan Besar Inggris hingga tahun 1981.

Pada 28 Desember 1981, gedung ini secara resmi diserahkan kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Setahun kemudian, pernah difungsikan sebagai kantor Perpustakaan Nasional.

Mengingat nilai sejarah yang sangat penting, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Prof. Nugroho Notosusanto, memerintahkan Direktorat Permuseuman untuk menjadikannya sebagai Museum Perumusan Naskah Proklamasi. Penetapan tersebut dituangkan dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0476/1992 tanggal 24 November 1992.

Ruangan di lantai satu kini disusun sesuai alur peristiwa: ruang pertemuan, ruang perumusan, ruang pengetikan, hingga ruang pengesahan naskah. Meskipun sebagian besar perabot adalah replika, bangunan itu sendiri menjadi koleksi utama yang asli.

Penyusunan tata ruang ini dilakukan sesuai dengan keterangan ART Tadashi Maeda yang didatangkan langsung dari Jepang. “Asisten rumah tangga Maeda bernama Satsuki Mishima, didatangkan dari Jepang. Berdasarkan keterangan beliau nanti tata ruang yang ada di lantai satu akan direplika lagi,” katanya.

Aidil menegaskan bahwa esensi utama museum ini bukan pada koleksi benda, melainkan bangunan itu sendiri. “Yang menjadi koleksi utama kita adalah bangunannya sendiri yang menjadi saksi bisu peristiwa terjadi,” tambahnya.