Pemadaman Listrik di Aceh, Dosen Unimal: PLN Wajib Bayar Kompensasi

PLN secara hukum berkewajiban memberikan kompensasi kepada pelanggan akibat ketidakmampuan mereka memenuhi standar kualitas layanan.

Laporan Jafaruddin I Lhokseumawe

,LHOKSEUMAWE– Pemadaman listrik yang masih terjadi di beberapa daerah Aceh hingga Rabu (1/10/2025) mendapat kritik keras dari berbagai pihak, termasuk kalangan akademisi.

Berdasarkan keterangan Manajer Komunikasi dan TJSL PLN Aceh, Lukman Hakim, pemadaman ini terjadi karena Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Nagan 3 tidak dapat menyinkronkan diri dengan sistem.

“PLN secara hukum harus memberikan kompensasi kepada pelanggan karena gagal memenuhi standar kualitas layanan,” kata Dosen Hukum Universitas Malikussaleh, Muksalmina, SHI, MH, kepada , Jumat (3/10/2025).

Meskipun perbaikan terus dilakukan, PLN masih belum mampu menentukan kapan pasokan listrik akan kembali sepenuhnya normal.

Menurut Muksalmina, keadaan ini tidak dapat dipisahkan dari tanggung jawab PLN sebagai penyelenggara layanan umum.

PLN harus memastikan pasokan listrik yang handal, terus-menerus, dan sesuai dengan standar.

Jika terjadi pemadaman di luar batas yang dapat diterima, kompensasi otomatis harus diberikan. Itu merupakan perintah hukum, bukan hanya sekadar ajakan,” tegas Muksalmina.

Dosen dari Fakultas Hukum Unimal juga menyebutkan beberapa peraturan yang mengatur hal tersebut.

Di antaranya, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan serta Peraturan Menteri ESDM Nomor 18 Tahun 2019 mengenai tingkat mutu pelayanan.

Aturan ini menetapkan standar SAIDI (System Average Interruption Duration Index) dan SAIFI (System Average Interruption Frequency Index).

Untuk sistem di luar Jawa, termasuk Aceh, batas ambang yang ditentukan sekitar 49 jam pemadaman per pelanggan setiap tahun (SAIDI) dan 6 kali gangguan per pelanggan setiap tahun (SAIFI).

Jika melebihi batas tersebut, kata Muksalmina, PLN harus memberikan kompensasi berupa pengurangan tagihan listrik.

“Jika dihitung, pemadaman di Aceh telah melebihi ambang batas yang ditentukan. Oleh karena itu, kompensasi bukanlah pilihan, melainkan kewajiban hukum bagi PLN,” tegasnya kembali.

Muksalmina menekankan mengenai hak konstitusi warga negara yang diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Setiap individu memiliki hak untuk diakui, dilindungi, dan mendapatkan perlindungan hukum yang adil.

“Jika listrik mati dalam waktu yang lama tanpa adanya kompensasi, maka hak warga terhadap kepastian hukum dan perlindungan konsumen telah dilanggar,” tegasnya.

Menurutnya, alasan teknis seperti kegagalan sinkronisasi PLTU tidak dapat dikategorikan sebagai force majeure. “Itu adalah risiko manajerial murni yang tetap menjadi tanggung jawab PLN,” katanya.

Muksalmina juga menyoroti dampak yang besar dari pemadaman listrik.

Masalah ini tidak hanya dirasakan dalam lingkungan keluarga, tetapi juga menghambat kegiatan kantor pemerintah dan swasta, dunia bisnis, serta layanan masyarakat.

Bayangkan berapa besar kerugian yang dialami masyarakat jika kantor tidak berjalan, pelaku usaha tidak dapat melakukan aktivitasnya, rumah sakit mengalami gangguan, sektor perdagangan lumpuh, serta pendidikan terhambat. Semua komponen terkena dampak,” katanya.

Ia menegaskan, keadaan ini semakin kontradiktif di tengah permintaan global menuju masa digitalisasi.

“Dunia berkembang pesat menuju dunia digital, sementara Aceh masih tertinggal karena pasokan listrik sebagai fondasi utama belum mampu mencapai standar yang diperlukan. Tanpa pasokan listrik yang stabil, digitalisasi hanyalah kata-kata kosong,” ujarnya.

Oleh karena itu, Muksalmina meminta Pemerintah Aceh, DPRA, dan Ombudsman RI Perwakilan Aceh segera mengambil tindakan keras.

“Kementerian dan DPRA perlu memanggil manajemen PLN Aceh untuk menuntut pertanggungjawaban, sementara Ombudsman harus melakukan penyelidikan terhadap dugaan penyalahgunaan dalam pelayanan publik,” tegasnya.

Sebagai informasi, PLN pernah memberikan ganti rugi kepada pelanggan di Jakarta dan sekitarnya setelah kejadian pemadaman listrik besar-besaran pada tahun 2019.

“Preceden ini juga harus berlaku di Aceh. Hak pelanggan sama di mana pun mereka berada,” tutup Muksalmina.(*)