, YOGYA –Keberadaan aplikasi transportasi Maxride di kawasan DIY dikatakan berada dalam kondisi tidak jelas.
Hal tersebut dianggap berbeda dari keberadaan becak bermotor (bentor) yang sejak awal dinyatakan tidak sah.
Pemerintah Daerah DIY juga menilai situasi tersebut berisiko karena kendaraan pribadi dengan plat hitam digunakan sebagai angkutan umum tanpa izin.
Kepala Sekretariat Daerah (Sekda) DIY, Ni Made Dwipanti Indrayanti, menyatakan bahwa layanan Maxride tidak memiliki dasar hukum sebagai transportasi penumpang.
Kendaraan yang digunakan terdaftar sebagai kendaraan pribadi, tetapi digunakan untuk mengangkut penumpang.
“Maxride ini adalah kendaraan pribadi, platnya jelas merupakan kendaraan bermotor. Namun, ketika digunakan untuk mengangkut penumpang, maka termasuk dalam kategori angkutan umum. Nah, secara izin, tidak ada,” ujar Made di Yogyakarta, Rabu (1/10/2025).
Made menyebutkan bahwa peraturan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) telah menetapkan klasifikasi angkutan penumpang.
Oleh karena itu, posisi Maxride tidak dapat segera dianggap sah hanya karena menggunakan kendaraan dengan plat nomor hitam resmi.
Pemerintah Daerah DIY juga meminta agar kabupaten/kota segera menyusun peraturan operasional. Meskipun Maxride menyediakan perjalanan antar daerah, wewenang pemberian izin tetap berada di tangan pemerintah kabupaten/kota.
“Jangan hanya berbicara di kota, tetapi semua kabupaten juga harus memiliki pendirian. Karena layanannya melibatkan batas wilayah, dari Sleman ke Kota, dari Bantul ke Kota, dan seterusnya. Jika tidak diatur, masyarakat akan bingung,” katanya.
Menurut Made, kehadiran Maxride menimbulkan kebingungan karena motor yang digunakan terdaftar secara resmi, namun fungsinya bukan lagi sebagai kendaraan pribadi.
Hal tersebut berbeda dengan sepeda motor tiga roda yang memang dirancang khusus untuk mengangkut barang, bukan untuk membawa penumpang.
“Jika bentor jelas melanggar hukum. Nah, Maxride berbeda. Motor pribadi yang legal, tetapi fungsinya digunakan untuk mengangkut penumpang. Hal ini harus dibatasi oleh kabupaten/kota, apakah boleh (beroperasi) di mana, kawasan apa, atau bahkan tidak boleh sama sekali,” tegasnya.
Ia menambahkan, Pemerintah Daerah DIY bersama dengan Polda DIY pernah membahas posisi aplikator Maxride.
Namun, sampai saat ini belum ada tindak lanjut karena aplikator dianggap tidak bersedia bekerja sama.
“Jika terus tidak bersikap kooperatif, bisa saja berujung pada tindakan hukum. Kami juga telah berkoordinasi dengan Ditlantas dan pihak kepolisian,” ujar Made.
Namun, Pemerintah Daerah DIY masih memberikan kesempatan kepada Maxride untuk beroperasi di beberapa daerah yang memiliki keterbatasan sarana transportasi.
Wilayah seperti Gunungkidul dan Kulon Progo dianggap lebih layak karena jumlah kendaraan umum yang sedikit.
“Sebenarnya bukan tidak boleh, (tapi) layanannya itu mau diatur seperti apa, mungkin ada batasan layanan. Nah tinggal pengaturan kabupaten/kota seperti apa untuk itu. Misal Gunungkidul, Kulon Progo monggo saja kalau diatur kawasannya di mana. Terus kalau Kota mau bagaimana, misal tidak ya tidak,” ujarnya.
Sebaliknya, dalam hal Kota Yogyakarta, Made menganggap sudah hampir mustahil untuk menambahkan moda transportasi yang baru.
Jalan yang sempit serta jumlah kendaraan yang tinggi membuat kehadiran Maxride justru berpotensi memperburuk kemacetan lalu lintas.
Pemerintah Daerah DIY akan kembali mengundang pemerintah kabupaten/kota untuk membahas peraturan serta melakukan sosialisasi terkait Maxride agar masyarakat tidak merasa bingung.
“Ya benar (harus rapat lagi), kita tidak bisa langsung melakukan penegakan, harus ada sosialisasi terlebih dahulu. Semua yang ada di DIY, khususnya di perkotaan, perlu adanya pengaturan yang baik,” tegas Made. (*)
