Ringkasan Berita:
- Pihak penaksir gadai dapat dihukum meskipun memiliki niat baik dan mematuhi prosedur yang berlaku.
- Studi hukum menunjukkan perlunya adanya peraturan teknis serta koordinasi antar lembaga.
- OJK membuat aturan terbaru untuk memperkuat sektor jasa gadai serta mengurangi kegiatan gadai yang tidak sah.
, JAKARTA—Penghargai jaminan—petugas yang menentukan nilai barang jaminan di lembaga pembiayaan—berada dalam posisi rentan secara hukum. Meskipun telah melakukan prosedur dan beritikad baik, mereka tetap berisiko dituntut jika barang jaminan yang diajukan nasabah ternyata berasal dari tindakan ilegal.
Kekurangan ini mendapat perhatian dalam disertasi Dimas Asep Saputra yang dipresentasikan dalam sidang terbuka Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur Jakarta, hari ini. Penelitian tersebut menyoroti perlindungan hukum bagi penaksir gadai serta status hukum barang jaminan dalam praktik pergadaian.
“Perusahaan jasa gadai dan penilaian sering menghadapi risiko hukum, meskipun mereka telah melakukan tindakan sesuai prosedur dan dengan niat baik,” kata Dimas dalam pernyataannya, Jakarta, Selasa (14/10/2025).
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis sosiologis dengan metode intradisipliner, menggabungkan analisis hukum perdata dan pidana. Beberapa putusan pengadilan menunjukkan ketidakpastian hukum terhadap benda jaminan yang disita sebagai barang bukti dan tidak dikembalikan kepada perusahaan. Di antaranya, Putusan No. 142/Pid.B/2014/PN.Tpg dan Putusan No. 66/Pid.B/2018/PN.Skt, yang menyebabkan kerugian besar bagi PT Pegadaian serta lembaga gadai lainnya.
Secara normatif, Pasal 1152 KUHPerdata dan Pasal 120 UU No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) menyebutkan bahwa pihak yang menerima gadai dengan niat baik tidak dapat dikenakan sanksi hukum jika telah mematuhi prinsip Know Your Customer (KYC). Namun, belum ada peraturan pelaksana yang secara jelas melindungi penilai.
“Ketidakjelasan aturan menyebabkan kerugian bagi perusahaan gadai ketika jaminan disita tanpa adanya ganti rugi,” ujar Dimas.
“Meskipun proses jaminan fidusia telah diatur melalui KUHPerdata, Peraturan Pemerintah, dan POJK Nomor 39 Tahun 2024, peraturan tersebut belum diikuti oleh peraturan pelaksana yang secara jelas melindungi penilai.”
Di lapangan, aparat penegak hukum harus menyita barang hasil tindak pidana demi kepentingan masyarakat. Bahkan dalam beberapa kasus, barang jaminan yang sudah berpindah tangan tetap bisa disita oleh negara, meskipun lembaga gadai memiliki hak tanggungan.
Di sisi lain, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedang menyusun aturan terbaru guna memperkuat sektor pergadaian serta mengurangi tindakan gadai yang tidak sah.
Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan OJK, Agusman, mengatakan bahwa kebijakan deregulasi ini bertujuan untuk mempercepat proses legalisasi usaha gadai serta menjaga kepentingan konsumen.
“Untuk memperkuat dan mempermudah kegiatan usaha industri pergadaian, kami akan melakukan pengurangan regulasi,” kata Agusman.
Meski belum secara langsung menyebutkan perlindungan hukum bagi para penaksir, arah kebijakan OJK menunjukkan kemungkinan penguatan aturan terkait profesi di sektor ini.
Studi Dimas mendorong penerbitan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) sebagai aturan teknis untuk melengkapi hukum acara, serta memfasilitasi koordinasi antar lembaga dalam membangun sistem peradilan yang adil. Sistem ini diharapkan dapat menjamin penggantian dan mengakui niat baik para penaksir dalam praktik gadai—di tengah maraknya praktik gadai ilegal dan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan layanan gadai.