Semarang | Forum Kota — Keberadaan Tim Percepatan dan Pengendalian Pembangunan (TP3) Kota Semarang yang dibentuk oleh Pemerintah Kota menuai sorotan kritis dari berbagai elemen masyarakat. Sejumlah tokoh agama, pimpinan ormas, akademisi, dan komunitas warga menyuarakan keresahan terhadap fungsi dan kinerja tim yang dinilai belum mencerminkan semangat partisipasi dan transparansi publik.
Sorotan ini mengemuka dalam berbagai forum diskusi publik dan penyampaian aspirasi ke media sosial maupun lembaga legislatif. Mayoritas pandangan menyebutkan bahwa kehadiran TP3 justru berpotensi memperlemah sistem birokrasi yang sudah ada dan menciptakan sekat antara pemimpin daerah dengan masyarakatnya.
Minim Transparansi dan Sulit Diakses
Salah satu keluhan utama yang muncul adalah minimnya transparansi dalam struktur dan mekanisme kerja TP3. Masyarakat tidak mengetahui secara pasti siapa saja yang duduk sebagai anggota, bagaimana mereka ditunjuk, serta batas kewenangan mereka dalam menentukan arah kebijakan pembangunan.
Tak hanya itu, keberadaan TP3 juga dianggap menutup akses komunikasi langsung antara warga dan Wali Kota. Beberapa lembaga pendidikan, organisasi masyarakat, dan komunitas lokal mengeluhkan sulitnya menjalin audiensi atau menyampaikan aspirasi karena harus melalui proses penyaringan oleh tim ini.
“Seolah-olah TP3 menjadi dinding pembatas. Kami ingin menyampaikan ide atau masukan saja sulit, padahal ini kota kita bersama,” ujar Didik Agus Riyanto ketua LSM Satrio Pendawa Lima
Kesan Elitis dan Tidak Representatif
Bukan hanya soal akses, TP3 juga dinilai bersifat elitis dan tidak mencerminkan representasi publik yang seharusnya inklusif. Muncul anggapan bahwa tim ini dibentuk dari lingkaran politik tertentu yang memiliki kedekatan dengan kekuasaan, bukan dari tokoh-tokoh independen yang dipilih berdasarkan kompetensi dan integritas.
Hal ini menimbulkan kesan eksklusif dan tertutup, yang berdampak pada berkurangnya kepercayaan publik terhadap kebijakan-kebijakan strategis pemerintah kota.
Potensi Positif yang Tertutup oleh Praktik Lapangan
Secara normatif, pembentukan TP3 bisa memberikan manfaat. Bila dijalankan dengan profesionalisme dan keterbukaan, tim ini berpotensi:
Meningkatkan efisiensi pengambilan keputusan antara kepala daerah dan SKPD.
Mempercepat pelaksanaan proyek strategis pembangunan, khususnya yang membutuhkan koordinasi cepat lintas sektor.
Menyelaraskan RPJMD dengan kondisi lapangan sehingga program-program lebih terarah dan tepat sasaran.
Namun, potensi ini belum sepenuhnya dirasakan masyarakat karena praktik di lapangan justru mencerminkan hal sebaliknya.
Dampak Negatif dan Kerugian Sosial
Di sisi lain, keberadaan TP3 menimbulkan dampak negatif yang cukup signifikan, di antaranya:
1. Tersumbatnya partisipasi publik karena jalur komunikasi langsung tertutup.
2. Menurunnya kepercayaan masyarakat akibat tidak tersalurkannya aspirasi secara terbuka.
3. Kesan adanya “pemerintahan bayangan”, karena TP3 berperan strategis namun tidak memiliki posisi formal dalam perangkat daerah.
4. Potensi konflik kepentingan, terutama jika anggota tim memiliki afiliasi bisnis atau politik yang berkaitan dengan proyek-proyek pembangunan.
Tinjauan Hukum: Ada Ruang, Tapi Harus Sesuai Prinsip Pemerintahan Baik
Secara hukum, pembentukan TP3 dimungkinkan berdasarkan:
Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
Permendagri No. 12 Tahun 2014 tentang Pedoman Penyusunan Laporan Kinerja,
dan PP No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah.
Namun, pembentukan tim seperti TP3 harus tunduk pada prinsip akuntabilitas, transparansi, serta tidak boleh menggeser fungsi resmi perangkat daerah. Tanpa SK yang sah, nomenklatur formal, dan mekanisme pelaporan yang terbuka, maka eksistensi TP3 bisa dianggap melampaui kewenangannya.
Sorotan Masyarakat: Percepatan yang Justru Menghambat
Alih-alih menjadi solusi percepatan, TP3 kini mulai dipandang sebagai penghambat. Banyak warga menilai keberadaan tim ini menambah “birokrasi dalam birokrasi” yang menghambat kerja-kerja publik. Keadaan ini mencerminkan adanya defisit komunikasi politik dan tata kelola pemerintahan yang sehat.
Dalam menyikapi kondisi ini, sejumlah tokoh masyarakat menyampaikan rekomendasi sebagai berikut:
Untuk Pemerintah Kota Semarang:
Melakukan evaluasi total terhadap keberadaan TP3, baik dari sisi efektivitas maupun legitimasi.
Membuka secara transparan data anggota, tugas, dan penggunaan anggaran TP3.
Menyediakan kanal langsung komunikasi warga dengan Wali Kota, seperti forum terbuka atau aplikasi aduan publik.
Mengembalikan peran koordinatif sepenuhnya ke OPD resmi, agar tidak terjadi tumpang tindih tugas.
Mengikutsertakan tokoh masyarakat dan ormas dalam perencanaan pembangunan melalui forum komunikasi yang reguler.
Untuk Masyarakat dan Organisasi Sipil:
Mengirimkan kritik dan masukan melalui jalur resmi ke DPRD dan Pemkot agar tercatat secara administratif.
Membangun koalisi sipil lintas sektor yang solid untuk mengawal kebijakan publik berbasis kepentingan warga.
Mendorong audit kinerja TP3 oleh lembaga pengawasan, seperti Inspektorat Daerah atau Ombudsman.
Kembali ke Semangat Bergerak Bersama
Pembangunan Kota Semarang tidak bisa diserahkan hanya pada tim tertentu yang bersifat eksklusif. Kota ini dibangun bersama, oleh warga dan untuk warga. Jika keberadaan TP3 justru menciptakan jarak, resistensi, dan ketidakpercayaan, maka sudah saatnya pemerintah daerah melakukan langkah koreksi dan pemulihan kepercayaan publik.
Didik menyampaikan ” Semarang membutuhkan kebijakan yang terbuka, partisipatif, dan berpihak pada kepentingan masyarakat luas. “Bergerak Bersama Membangun Kota” semestinya bukan sekadar slogan, melainkan arah nyata dalam tata kelola kota.” *** Dik