Ketimpangan Jakarta Membesar Saat Kemiskinan Meningkat

JAKARTA, – Populasi penduduk miskin di Jakarta semakin meningkat.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi DKI Jakarta, di bulan Maret 2025, tingkat kemiskinan tercatat sebesar 4,28 persen, meningkat dibandingkan dengan angka 4,14 persen pada September 2024.

Maksudnya, sekitar 15.800 orang tergolong dalam kategori kemiskinan baru, sehingga jumlah penduduk miskin di Jakarta saat ini mencapai 464.870 jiwa.

Biaya hidup naik

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jakarta, Nurul Hasanudin, mengungkapkan, kenaikan ini disebabkan oleh berbagai faktor, terutama inflasi kebutuhan pokok dan biaya perumahan yang semakin memberatkan kelompok rentan.

“Peningkatan ini tidak dapat dipisahkan dari kenaikan inflasi, khususnya di sektor pengeluaran makanan dan perumahan. Hal ini berdampak pada meningkatnya garis kemiskinan,” ujar Nurul dalam rilis resmi BPS DKI Jakarta, Jumat (25/7/2025).

Angka garis kemiskinan di Jakarta saat ini mencapai Rp 852.798 per kapita per bulan, meningkat sebesar 6,79 persen dibanding bulan September 2024. Dengan kata lain, seseorang dianggap miskin jika pengeluarannya berada di bawah angka tersebut.

“Untuk tidak termasuk dalam kategori miskin, seseorang perlu mampu memenuhi kebutuhan dasar di atas batas tertentu,” katanya.

Inflasi tinggi

Kenaikan harga beberapa bahan pokok menyebabkan inflasi di Jakarta selama bulan Februari hingga Maret 2025 mengalami peningkatan yang signifikan dibandingkan tingkat nasional.

Nurul menyampaikan, kenaikan harga beberapa bahan pokok seperti beras, ayam, telur, dan bawang merah. Selain itu, biaya air minum dan ongkos sewa rumah juga mengalami peningkatan.

“Pada bulan Maret juga jatuh pada bulan Ramadhan, sehingga permintaan meningkat dan harga bahan makanan naik. Hal ini secara langsung memengaruhi kemampuan keluarga miskin dalam memenuhi kebutuhan pokoknya,” kata Nurul.

Beras dan rokok mendominasi

Dari segi komposisi garis kemiskinan, sekitar 69,4 persen dari garis kemiskinan di Jakarta berasal dari kebutuhan akan makanan.

Beras menjadi sumber utama kemiskinan (16,65 persen), diikuti rokok kretek filter (9,53 persen).

Di sisi non-makanan, pengeluaran terbesar adalah biaya sewa rumah sebesar 40,33 persen, diikuti oleh listrik (12,46 persen), perlengkapan rumah tangga (8,12 persen), dan bensin (7,7 persen).

“Perumahan merupakan kebutuhan yang mendesak di kota-kota besar. Di Jakarta, meskipun pendapatan rendah, masyarakat tetap menghabiskan uang untuk membayar sewa tempat tinggal. Hal ini membuat mereka semakin mudah masuk dalam kategori miskin,” ujar Nurul.

Ia juga menyoroti kebiasaan merokok yang masih tinggi di kalangan masyarakat berpenghasilan rendah.

“Masyarakat miskin kita masih menghabiskan sebagian penghasilannya untuk rokok. Padahal hal ini berdampak besar terhadap tingkat kemiskinan,” katanya.

Urbanisasi

Selain itu, urbanisasi dianggap sebagai faktor yang berkontribusi terhadap peningkatan tingkat kemiskinan di Jakarta pada Maret 2025.

“Ya, memang ada banyak faktor. Bukan hanya urbanisasi, tetapi juga faktor-faktor lain yang mungkin berkaitan dengan peningkatan garis kemiskinan,” ujar Nurul.

Nurul menyampaikan, urbanisasi berperan karena seringnya penduduk pindah dari daerah ke Jakarta tanpa disertai persiapan ekonomi atau pekerjaan tetap. Hal ini akhirnya meningkatkan jumlah kelompok masyarakat miskin yang rentan di kota.

“Penghuni baru yang belum memiliki tempat tinggal yang layak atau akses pekerjaan resmi sering kali masuk ke dalam kelompok rentan miskin dan menambah beban sosial di daerah yang padat penduduk,” ujarnya.

Menurutnya, ketika garis kemiskinan naik, warga yang sebelumnya berada sedikit di atas batas tersebut bisa terjatuh menjadi miskin.

Pada kondisi tersebut, kelancaran harga kebutuhan pokok seharusnya menjadi hal yang sangat penting.

“Ini penting, terutama dalam konteks komponen kebutuhan pokok yang termasuk dalam keranjang angka kemiskinan kita,” tambah Nurul.

Ketimpangan makin lebar

Selain peningkatan jumlah penduduk yang hidup dalam kemiskinan, jurang pemisah antara orang kaya dan orang miskin semakin membesar.

BPS melaporkan bahwa rasio gini DKI Jakarta meningkat dari 0,431 pada September 2024 menjadi 0,441 pada Maret 2025, yang lebih besar dibandingkan rata-rata nasional sebesar 0,375.

“Ini menunjukkan bahwa pengeluaran penduduk kelas atas dan bawah semakin tidak seimbang. Distribusi pengeluaran konsumsi lebih banyak dikuasai oleh 20 persen teratas,” ujar Nurul.

Berdasarkan data BPS, 20 persen individu terkaya di Jakarta memiliki peran signifikan dalam pengeluaran sebesar 52,45 persen, sementara 40 persen penduduk dengan penghasilan terendah hanya berkontribusi sebesar 16,12 persen.

Ini menggambarkan ketidaksetaraan sosial dan ekonomi yang semakin jelas terlihat di Jakarta.

“Kelompok miskin semakin menjauhi rata-rata pengeluaran masyarakat. Hal ini mencerminkan kondisi kemiskinan yang serius, bukan hanya terkait jumlahnya, tetapi juga adanya ketimpangan,” tambahnya.

Bantu warga rentan

Menurut Nurul, pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan saja tidak cukup untuk menyelesaikan permasalahan kemiskinan dan ketimpangan ini.

Ia menginginkan Pemprov DKI Jakarta memprioritaskan peningkatan penghasilan masyarakat kelas menengah bawah agar tidak terjebak dalam kemiskinan.

“Jika tidak ada penyesuaian, kelompok yang rentan bisa terjebak di bawah garis kemiskinan kapan saja,” kata Nurul.

Tanggapan Pramono

Merespons data dari BPS, Gubernur Jakarta Pramono Anung menyatakan akan meneliti lebih lanjut faktor yang menyebabkan peningkatan angka kemiskinan tersebut.

Ia meragukan apakah kenaikan ini diakibatkan oleh penduduk asli Jakarta atau oleh para pendatang dari luar daerah yang datang ke Jakarta demi mencari penghidupan.

“Apakah itu benar-benar disebabkan oleh warga yang tinggal di Jakarta atau memang sekarang masalahnya orang memiliki harapan besar untuk datang ke Jakarta dan hal tersebut berasal dari berbagai daerah,” kata Pramono saat diwawancarai di Anjungan Sarinah, Jakarta Pusat, Jumat (25/7/2025).

Menurutnya, jumlah pencari kerja di Jakarta saat ini mengalami kenaikan yang cukup besar. Pramono menganggap situasi ini bisa memengaruhi data kemiskinan yang dirilis oleh BPS.

“Jadi, jumlah orang yang mencari pekerjaan di Jakarta saat ini meningkat secara signifikan,” ujar Pramono.