Oleh: Doddy Sasi, CMF
Ketua Tribunal Keuskupan Agung Kupang dan Dosen Hukum Gereja di Stipas Kupang
Konsili Vatikan II menegaskan pentingnya keterlibatan seluruh umat Allah dalam hidup dan misi Gereja.
Semangat tersebut kemudian dituangkan dalam Kitab Hukum Kanonik 1983 melalui ketentuan mengenai Consilium Pastorale (can. 511–514), yaitu sebuah dewan pastoral dengan sifat konsultatif yang membantu Uskup dalam karya pastoral keuskupan.
Perlu dicatat bahwa dalam Kitab Hukum Kanonik sendiri tidak dikenal istilah Musyawarah Pastoral (Muspas); yang ada hanyalah consilium pastorale.
Namun, di Indonesia semangat yang sama dihidupi dan diwujudkan melalui Muspas, sebuah forum khas Gereja lokal yang berfungsi sebagai sarana sinodalitas dan discernimento bersama, sekaligus menginkulturasi nilai budaya musyawarah dalam kehidupan Gereja.
Konsilium Pastorale
Dalam kehidupan Gereja, Uskup adalah gembala utama yang bertugas menggembalakan umat Allah di keuskupannya.
Namun, Gereja yang lahir dari Konsili Vatikan II menegaskan bahwa seluruh umat beriman, baik para imam, anggota religious, maupun awam, dipanggil untuk bersama-sama bertanggung jawab atas misi Gereja.
Dari semangat inilah lahir lembaga yang disebut Consilium Pastorale atau dewan pastoral keuskupan, sebagaimana diatur dalam Kanon 511–514 Kitab Hukum Kanonik.
Pasal 511 menyatakan bahwa di setiap keuskupan, jika kondisi pastoral mengharuskan, dapat dibentuk dewan pastoral.
Tugas utamanya adalah membantu Uskup untuk menyelidiki situasi pastoral, menimbang dengan bijaksana kebutuhan dan tantangan yang ada, serta merumuskan usulan-usulan praktis.
Dari sini terlihat dua hal penting: dewan pastoral bukanlah lembaga yang wajib ada di setiap keuskupan, melainkan disarankan sesuai dengan kebutuhan; dan fungsinya tidak mengambil keputusan yang mengikat, melainkan memberikan kontribusi konsultatif yang berkualitas bagi pengambilan keputusan pastoral.
Peran dewan ini dirumuskan dengan tiga kata kunci: investigare (menggali dan mengenali kenyataan hidup umat), perpendere (merenungkan dan menimbang dalam terang iman), serta proponere (mengajukan usulan praktis).
Dengan demikian, Consilium Pastorale bukanlah forum administratif semata, tetapi sebuah wadah di mana Gereja belajar berjalan bersama, mendengarkan Roh Kudus, dan mengambil langkah yang sesuai dengan kebutuhan nyata umat.
Mengenai susunan anggotanya, Kanon 512 menekankan pentingnya keterwakilan. Dewan ini harus mencerminkan seluruh Umat Allah: imam, religius, dan awam dari berbagai wilayah dan latar belakang.
Bahkan, umat awam diundang untuk ikut serta melalui mekanisme pemilihan sesuai aturan diosesan.
Namun, keterlibatan ini bukan sekadar formalitas; mereka yang terpilih seharusnya dikenal karena iman yang teguh, moral yang baik, dan kebijaksanaan yang dapat dipercaya.
Dengan demikian, dewan benar-benar menjadi cermin persekutuan Gereja, bukan sekadar representasi sosial.
Mengenai masa jabatan, Kanon 513 menyatakan bahwa anggota ditetapkan untuk jangka waktu tertentu sesuai ketentuan hukum partikular.
Dewan ini juga berakhir secara otomatis ketika keuskupan mengalami sede vacante, memberi kebebasan kepada Uskup baru untuk membentuk atau mengukuhkan kembali dewan tersebut.
Sementara Kanon 514 menegaskan bahwa Uskup tetap menjadi subjek utama: dia yang memanggil, memimpin, menentukan agenda, serta satu-satunya yang berwenang untuk meninjau dan mengumumkan hasil rapat.
Di sinilah jelas bahwa Consilium Pastorale bersifat murni konsultatif, bukan pengambil keputusan.
Namun demikian, nilai pastoral dewan ini sangat besar. Melalui Consilium Pastorale, Uskup tidak berjalan sendiri.
Ia memperoleh gambaran yang lebih menyeluruh mengenai realitas umat, memperkuat ikatan persaudaraan dengan imam, religius, dan awam, serta memastikan arah pastoral sungguh lahir dari proses mendengarkan bersama.
Tentu ada batasan: keputusan akhir tetap berada di tangan Uskup. Namun, semangat sinodalitas mengajak agar setiap usulan dewan tidak dipandang sekadar formalitas, melainkan sungguh dihargai sebagai suara umat Allah.
Dengan demikian, Kanon 511–514 menggambarkan Consilium Pastorale sebagai organ representatif, konsultatif, dan sinodal yang sangat berharga.
Ia bukan sekadar struktur hukum, melainkan perwujudan eklesiologi persekutuan yang digelorakan oleh Konsili Vatikan II.
Keberhasilannya bergantung pada kesediaan Uskup dan umat untuk benar-benar berjalan bersama, saling mendengarkan, dan bersama-sama menanggung tanggung jawab perutusan Gereja dalam terang Injil.
Musyawarah Pastoral
Musyawarah Pastoral atau yang sering disebut Muspas merupakan salah satu bentuk nyata dari Gereja yang berjalan bersama.
Dalam Kitab Hukum Kanonik, hal ini dikenal sebagai consilium pastorale—dewan pastoral di tingkat keuskupan yang bersifat konsultatif, yaitu membantu Uskup menyelidiki, menimbang, dan merumuskan usulan-usulan praktis demi karya pastoral (lihat Kan. 511).
Namun, di Indonesia, bentuk ini mengalami penyesuaian dan inkulturasi: ia hadir dalam bentuk pertemuan besar, yang mengumpulkan Uskup, para imam, para religius, serta umat awam untuk duduk bersama, berdialog, dan mencari arah pastoral keuskupan.
Dengan demikian, Muspas dapat dipahami sebagai wajah lokal dari consilium pastorale yang menyatu dengan budaya bangsa kita, yang sejak lama mengenal tradisi musyawarah dan mufakat.
Yang membedakan Muspas dari sekadar forum administratif adalah semangat yang dihidupkannya. Di dalamnya, seluruh umat Allah terlibat, bukan hanya para pemimpin Gereja.
Imam, biarawati, bruder, dan umat awam, semuanya memiliki ruang untuk berbicara, menyampaikan pengalaman, serta membaca tanda-tanda zaman dari perspektif masing-masing.
Di satu sisi, ini tetap selaras dengan aturan kanonik—karena bersifat konsultatif dan keputusan tetap berada di tangan Uskup—tetapi di sisi lain, Muspas membawa ciri khas Indonesia: suasana kekeluargaan, dialog yang inklusif, dan pencarian kesepakatan yang menekankan persatuan.
Keunikan Muspas semakin terlihat ketika prosesnya dimulai dari bawah. Banyak keuskupan menyusun Muspas dengan mendengarkan suara umat di paroki-paroki atau stasi.
Dengan demikian, apa yang dibicarakan dalam Muspas bukanlah wacana abstrak, melainkan sungguh berakar pada pengalaman umat sehari-hari.
Isu-isu yang dibahas sangat kontekstual: mulai dari ekologi, pendidikan, kemiskinan, perdamaian antaragama, hingga pastoral keluarga.
Semua itu menunjukkan bagaimana Muspas menjadi sarana Gereja untuk benar-benar hadir, relevan, dan solid dengan dunia di sekitarnya.
Namun, Muspas bukan hanya sebuah pertemuan praktis, tetapi juga pengalaman rohani.
Ia menjadi ruang pengenalan di mana seluruh umat Allah bersama-sama mendengarkan Roh Kudus. Karena itu, Muspas senantiasa didukung dengan doa, liturgi, dan penelitian Kitab Suci.
Dengan cara ini, setiap gagasan dan keputusan tidak sekadar lahir dari strategi manusiawi, tetapi sungguh merupakan buah dari peneguhan iman. Dalam pelaksanaannya, Muspas membutuhkan metode partisipatif.
Biasanya pendekatan SAND: Sinodality, Appreciative, Narrative & Discerment) atau Pendekatan see–judge–act atau conversation in the Spirit dapat menjadi pedoman untuk membaca realitas, menimbang dalam terang Injil, lalu merumuskan langkah konkret.
Proses ini membutuhkan kesiapan peserta yang tidak hanya berani berbicara, tetapi juga mampu mendengarkan.
Oleh karena itu, formasi bagi para imam, religius, maupun awam yang terlibat sangat penting: keterampilan berdialog, kepekaan pastoral, serta pemahaman dasar tentang eklesiologi sinodal perlu diberikan agar Muspas benar-benar menjadi forum yang membangun, bukan sekadar ruang debat atau curhat.
Dalam dinamika Muspas, Uskup hadir sebagai gembala utama. Perannya bukan sekadar pemimpin rapat, melainkan tanda kesatuan Gereja.
Muspas bukan “parlemen Gereja” di mana suara terbanyak menentukan keputusan, melainkan perjalanan bersama di mana Uskup mendengarkan, menimbang, lalu mengintegrasikan hasil Muspas ke dalam rencana pastoral keuskupan.
Dengan cara ini, Muspas menjadi ruang di mana gembala dan kawanan berjalan bersama dalam semangat persaudaraan Injili.
Tentu saja, Muspas membawa berkah sekaligus tantangan. Ia memperkuat rasa memiliki umat terhadap arah pastoral keuskupan, menumbuhkan spiritualitas sinodal, dan mengikat komitmen bersama.
Namun, ada juga risiko Muspas hanya menjadi acara seremonial tanpa tindak lanjut yang jelas.
Oleh karena itu, penting agar hasil Muspas benar-benar ditinjau, dipublikasikan, dan diintegrasikan oleh Uskup ke dalam rencana pastoral konkret, sebagaimana ditegaskan dalam kan. 514.
Pada akhirnya, Musyawarah Pastoral di Indonesia menunjukkan bagaimana teks kanonik dapat hidup dan berbuah dalam konteks nyata.
Ia bukan hanya forum konsultasi administratif, melainkan tanda sinodalitas yang nyata—sebuah Gereja yang berjalan bersama, mendengarkan Roh Kudus, saling menyapa dalam persaudaraan, dan bersama-sama merumuskan arah perutusan.
Melalui Muspas, wajah Gereja Indonesia semakin jelas terlihat: Gereja yang berakar pada budaya bangsa, peka terhadap kebutuhan zaman, dan setia menghadirkan Kerajaan Allah di tengah dunia. (*)
Teruskan berita di Google News