PEMBAHAS kebijakan fiskal dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB)UGM) Yogyakarta Rijadh Djatu Winardi menganggapdefisit APBN 2025 dengan angka mencapai Rp 371,5 triliun masih dianggap sehat dan dapat dikendalikan.
Ia menyampaikan bahwa defisit sebesar 1,56 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih dianggap aman karena keseimbangan primer tetap positif atau masih berada di bawah target.outlook 2025 sebesar 2,78 persen. Sementara tingkat utang terhadap PDB masih berada dalam kisaran 39–40 persen.
“Artinya ruang kebijakan fiskal kita masih cukup besar, defisit tetap dalam batas aman, dan kinerja fiskal terjaga dengan baik meskipun menghadapi ketidakpastian ekonomi global,” kata Rijadh di Yogyakarta, Rabu 22 Oktober 2025.
Riyadh menyampaikan, bahwa tekanan terhadap APBN tahun ini bersifat siklus, bukan struktural. Hal ini disebabkan oleh penurunan harga komoditas global, khususnya batubara dan kelapa sawit, yang memengaruhi penerimaan pajak serta pendapatan negara bukan pajak. Namun di sisi lain, sektor manufaktur dan jasa tetap memberikan kontribusi positif sehingga menjaga ketahanan fiskal.
Hanya saja, ia menyoroti bahwa rasio pajak Indonesia masih rendah, yaitu sekitar 10 persen terhadap PDB. Angka ini jauh lebih kecil dibandingkan rata-rata beberapa negara lain yang mampu mencapai 20 persen. “Dasar penerimaan fiskal kita masih sempit, sehingga rentan terhadap perubahan harga komoditas.”
Sementara itu, dari segi pengeluaran, realisasi hingga kuartal III-2025 baru mencapai 62,8 persen dari target yang ditetapkan. Beberapa kementerian/lembaga utama masih berada di bawah 50 persen, antara lain Badan Gizi Nasional (16,9 persen), Kementerian PUPR (48,2 persen), serta Kementerian Pertanian (32,8 persen).
“Maka masalah ini tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga struktural. Kesiapan anggaran sejak awal tahun yang belum maksimal, kecenderungan menunda pengeluaran serta rendahnya efisiensi dalam alokasi menjadi penyebab utama rendahnya penyerapan anggaran,” ujar Rijadh.
Ia menekankan bahwa percepatan penyerapan anggaran seharusnya menjadi prioritas agar fungsi stabilisasi APBN dapat berjalan secara optimal. “Pemerintah perlu mempercepat pengadaan barang dan jasa sejak awal tahun serta memastikan mekanisme pembayaran berjalan sesuai jadwal agar tidak terjadi penumpukan belanja di akhir tahun,” ujarnya.
Riyadh juga menyerukan agar kebijakan fiskal pada sisa tahun 2025 difokuskan pada pemeliharaan laju pertumbuhan ekonomi tanpa mengorbankan kelangsungan fiskal.
Terlebih lagi, pemerintah kini hanya memiliki waktu kurang dari tiga bulan untuk merealisasikan pengeluaran sekitar Rp 527 triliun. “Fokusnya bukan hanya menghabiskan anggaran, tetapi memastikan setiap rupiah digunakan secara efisien untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.”