Fatwa larangan terhadap sound horeg yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur, menyebabkan perdebatan yang berkepanjangan. Penolakan dan protes juga diungkapkan oleh para pengusaha serta masyarakat.
Bagi para pengusaha jasa horeg, fatwa haram MUI terasa seperti halilintar di siang hari. Seharusnya pemerintah mengeluarkan kebijakan yang adil dan tidak merugikan, bukan melarang secara keseluruhan.
“Solusi kami mudah. Atur waktu, atur volume, bahkan tentukan wilayahnya. Kami patuhi. Tapi jangan langsung diberi label haram,” kata pemilik salah satu rental sound horeg di Kecamatan Kanigoro, Blitar, Suparno, dilansir dariBlitarkawentar (Jawa Pos Group), Jumat (25/7).
Menurutnya, para pengusaha sound dan komunitas masyarakat yang menyukai sound horeg mulai menunjukkan kedisiplinan. Di beberapa desa sudah terdapat kesepakatan setempat mengenai jam operasional sound horeg.
“Biasanya dari pukul 5 sore hingga pukul 10 malam. Melebihi waktu tersebut, diperintahkan untuk berhenti,” tambahnya. Suparno tidak membantah bahwa sebagian masyarakat mendukung, sementara sebagian lainnya menolak fatwa yang menyatakan haram. Sementara itu, pelaku usaha melihatnya sebagai kesempatan untuk merenung.
Demonstrasi serupa juga disampaikan oleh Koordinator Komunitas Sound Blitar, Eko Pras. Ia menyampaikan pernyataan tajam bahwa suara horeg bukan hanya tentang suara yang keras dan menggelegar, tetapi juga menjadi sumber penghidupan bagi banyak orang.
Banyak orang yang menggantungkan hidup sepenuhnya pada aktivitas ini. Bahkan, satu paket sistem suara mampu memberikan penghidupan bagi 4-6 anggota tim lapangan, belum termasuk penyanyi, dekorator, hingga pemasok makanan.
“Kami ini masyarakat biasa. Kehidupan kami dari menyewakan alat musik untuk acara pernikahan, pawai, dan khitanan. Jika dianggap haram dan dilarang sama sekali, maka kami akan mati. Tapi jika diatur, kami siap mematuhi,” ujar Eko Pras.
Sebelumnya, MUI Provinsi Jawa Timur secara resmi mengeluarkan Fatwa Nomor 1 Tahun 2025 mengenai penggunaan Sound Horeg. Fatwa ini dikeluarkan setelah mengadakan forum diskusi dengan berbagai pihak.
Pihak-pihak yang hadir dalam forum tersebut, antara lain ahli kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan (THT), perwakilan Pemprov Jatim, polisi, tokoh masyarakat, serta perwakilan paguyuban sound horeg Jatim.
Mengutip salinan Fatwa MUI mengenai Sound Horeg yang diterima, berikut enam poin isi dari fatwa tersebut:
1. Diperbolehkan memanfaatkan teknologi audio digital dalam kegiatan sosial dan budaya, selama tidak melanggar hukum dan bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’ah.
2. Setiap orang diberi kebebasan untuk berekspresi, selama tidak mengganggu hak asasi manusia orang lain.
3. Suara yang berlebihan, merusak, mengganggu kesehatan, disertai tarian yang tidak sopan, atau dibawa keliling permukiman warga dianggap tidak sesuai.
4. Suara merdu boleh digunakan selama digunakan secara wajar dalam kegiatan yang positif, seperti acara pernikahan, pengajian, dan shalawatan, dengan syarat tidak mengandung unsur maksiat.
5. Larangan mutlak dalam penggunaan suara (battle sound) yang menyebabkan kebisingan, pemborosan, dan kerugian.
6. Tanggung jawab ganti rugi berlaku jika penggunaan suara horeg menyebabkan kerugian kepada pihak lain.