Ahli Hukum Tata Negara, Prof. Jimly Asshiddiqie, menekankan bahwa surat edaran (SE) bukan merupakan peraturan, melainkan sama dengan surat biasa.
Disebutkan bahwa surat edaran tersebut memang mengandung kebijakan, tetapi tidak disusun dalam bentuk peraturan.
Tidak, SE bukanlah peraturan. SE hanyalah sebuah surat biasa atau pemberitahuan resmi yang disebarkan secara tertulis dan ditujukan kepada berbagai pihak.
Dan hal ini sudah biasa terjadi di setiap instansi, lembaga, atau organisasi. Surat Edaran ini hanya berisi petunjuk kepada bawahan, staf, dan aparat,” kata Jimly.
Oleh karena itu, menurut Ketua Mahkamah Konstitusi pertama di Indonesia, isi kebijakan dalam surat edaran tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan seperti undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota. “Karena bukan peraturan, surat edaran bersifat tidak mengikat,” katanya.
Ia mengatakan, yang dapat memaksa disebut sebagai peraturan, seperti peraturan daerah, peraturan gubernur, peraturan bupati, dan peraturan walikota. “Jika hal ini bersifat umum berlaku,” katanya.
Dikatakan bahwa SE dibuat hanya sebagai pemberitahuan mengenai hal-hal yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan. “Karena di dalam peraturan perundang-undangan itu tebal. Namun, jika bupati atau gubernur mengirim surat edaran hanya selembar, agar lebih mudah dibaca oleh orang. Oleh camat, RT, RW dibaca, karena hanya selembar,” katanya.
Ia menekankan bahwa dalam penerapannya, surat edaran tersebut memang sangat penting. Namun selanjutnya, isinya tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan daerah, bahkan dengan peraturan gubernur.
“Tidak boleh bertentangan, karena SE hanya berupa surat. Jadi, isinya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan tetapi harus berlandaskan pada peraturan,” tegasnya.
Diketahui bahwa Gubernur Bali, I Wayan Koster, telah menerbitkan SE Nomor 9 Tahun 2025 mengenai Gerakan Bali Bersih Sampah, di mana dalam salah satu pasalnya terdapat ketentuan khusus yang melarang produksi dan penyebaran air minum dalam kemasan (AMDK) dengan ukuran kurang dari 1 liter.
Dalam ketentuannya juga disebutkan, adanya sanksi terhadap pihak-pihak yang tidak bersedia mematuhi SE tersebut. Namun, larangan tersebut sama sekali tidak terdapat dalam ketentuan hukum pokok perundang-undangan di atasnya seperti Perda Provinsi Bali No.5 Tahun 2011 mengenai Pengelolaan Sampah; Perda Provinsi Bali No.1 Tahun 2017 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; Pergub Bali No.97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai; Pergub Bali No.47 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber; Pergub Bali No.24 Tahun 2020 tentang Perlindungan Danau, Mata Air, Sungai, dan Laut; Keputusan Gubernur Bali No.381 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber di Desa/Kelurahan dan Desa Adat.
Diketahui, dalam seluruh peraturan perundang-undangan tersebut, tidak ada yang secara khusus mengatur hanya satu jenis plastik tertentu saja seperti yang tercantum dalam SE Gubernur Koster, dan sama sekali tidak ada menyebutkan adanya larangan untuk memproduksi AMDK di bawah 1 liter.
Jimly menekankan bahwa jika gubernur membuat surat edaran, hal tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang dia buat sendiri. “Jika surat edarannya bertentangan, maka tidak perlu diperhatikan. Bisa diabaikan saja karena itu tidak benar,” tegasnya.
Menurut Jimly, SE tidak mendapat sanksi karena hanya merupakan kebijakan. Namun, menurutnya, jika bertindak berdasarkan pelanggaran Undang-undang, perda, atau peraturan perundang-undangan lainnya, maka hal tersebut bisa dibawa ke pengadilan.
“Tetapi, jika hanya berupa surat tanpa tindakan, maka tidak bisa dianggap penting. Karena surat tersebut tidak dapat dianggap sebagai keputusan administratif. SE hanyalah surat dan jika tidak sesuai dengan undang-undang, maka cukup diabaikan saja,” tegasnya. (*)