Satu Bulan Menkeu Purbaya, Pilih Tidak Naikkan Harga untuk Lawan Rokok Ilegal

JAKARTA, Beberapa kebijakan telah diumumkan oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa sejak dilantik pada 8 September 2025.

Salah satu hal yang dilakukan oleh Menteri Keuangan Purbaya adalah memastikan tidak terjadi kenaikan harga eceran rokok (HJE) dan tidak ada kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) pada tahun 2026.

“Tidak ada kebijakan semacam itu (kenaikan HJE), saya tidak tahu. Seharusnya tidak perlu,” kata Purbaya saat menjawab pertanyaan wartawan mengenai isu kenaikan harga rokok tahun depan, Selasa (14/10/2025).

Alasan Menteri Keuangan Purbaya tidak menaikkan harga rokok

Tidak menaikkan harga rokok maupun pajak rokok merupakan metode yang digunakan Purbaya dalam menghadapi produk rokok ilegal.

Menurut Purbaya, menjaga stabilitas harga rokok merupakan tindakan krusial untuk mengurangi peredaran rokok ilegal di pasar.

Kenaikan harga pada barang legal berpotensi memperlebar perbedaan dengan barang ilegal yang tidak membayar pajak.

“Perbedaan antara produk yang sah dan tidak sah semakin bertambah. Semakin besar perbedaannya, akan mendorong beredarnya barang ilegal,” jelasnya.

Ia menganggap, selama ini masalah rokok ilegal menjadi tantangan besar yang secara langsung memengaruhi penerimaan negara. Dengan mempertahankan kenaikan harga, pemerintah berharap konsumen tidak beralih ke produk tanpa pajak.

Sampai saat ini saya belum terpikirkan Sampai kini saya belum terfikir Sampai sekarang saya belum terpikir Sampai saat ini saya belum terpikir Sampai sekarang saya belum terpikirkan Sampai kini saya belum terpikirkan Sampai saat ini saya belum terpikirkan Sampai sekarang saya belum terpikirkandinaikin. Saya pikir sih biarkan aja,” ucap Purbaya.

Strategi Purbaya menghapus rokok ilegal: membangun kawasan industri hasil tembakau

Pemerintah saat ini sedang berupaya mengembangkan pendekatan baru dalam menangani penyebaran rokok ilegal di Indonesia sambil tetap mempertimbangkan kelangsungan industri rokok lokal.

Menurut Purbaya, pemerintah berencana memperluas pengembangan kawasan industri tembakau (KIHT) agar para produsen rokok ilegal dapat beroperasi secara sah.

Dengan demikian, pemerintah tidak hanya mengatasi peredaran rokok ilegal serta menjaga kelangsungan industri tembakau, tetapi juga mampu meningkatkan pendapatan negara.

“Dengan harapan para produsen gelap dapat masuk ke sana,” kata Purbaya saat mengunjungi KIHT di Kudus, Jawa Tengah, Jumat (3/10/2025).

Purbaya menyampaikan, pada masa mendatang para produsen rokok ilegal di KIHT akan dikenai pajak cukai rokok seperti produsen rokok legal yang lain.

Tujuan ini adalah memberikan kesempatan persaingan yang adil bagi produsen rokok lokal.

Purbaya memastikan pajak yang diberlakukan tidak akan menghambat para produsen rokok ilegal yang ukuran usahanya lebih kecil dibandingkan perusahaan rokok resmi.

“Mereka diberikan ruang untuk melegalkan produknya dengan nanti menyesuaikan pola cukai yang sesuai bagi mereka. Pak Dirjen sedang meneliti bagaimana yang paling tepat untuk perusahaan-perusahaan kecil, yang bisa bertahan namun tidak terlalu mengganggu pasar secara tidak adil,” jelasnya.

Bahkan Purbaya berencana memberikan penghapusan pajak dan cukai bagi produsen rokok ilegal.

Dengan berbagai manfaat yang tersedia, diharapkan para produsen rokok ilegal tertarik memasuki KIHT dan menjadi perusahaan yang sah.

 

Karena itu, Purbaya berkomitmen untuk memberantas seluruh produsen rokok ilegal yang tetap beroperasi di Indonesia.

Penyebaran rokok ilegal yang luas merugikan negara sebesar Rp 15 triliun setiap tahun.

Berdasarkan data Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), maraknya beredarnya rokok ilegal di Indonesia dapat menyebabkan kerugian negara mencapai Rp 15 triliun setiap tahun.

Ekonom senior INDEF, Tauhid Ahmad, menyatakan bahwa peredaran rokok ilegal di Indonesia sangat besar dan memberikan dampak signifikan terhadap pendapatan negara.

Jika hanya 5 persen dari total produksi rokok nasional yang mencapai 300 miliar batang tidak membayar pajak, maka sekitar 15 miliar batang rokok ilegal beredar di pasar.

Situasi ini berpotensi menyebabkan kerugian negara sekitar Rp 15 triliun per tahun.

“Rokok ilegal jumlahnya cukup besar. Misalnya saja 5 persen, lalu dikalikan 300 miliar batang berarti sekitar 15 miliar batang. Bisa jadi kerugian mencapai Rp 15 triliun,” kata Tauhid.