Kafe Jaksel Protes Royalti Lagu, Manajemen: Spotify Tidak Segahal Itu

JAKARTA,

– Banyak pelaku usaha khawatir mengenai aturan pembayaran royalti lagu Indonesia di tempat-tempat komersial seperti kafe.

Eca (23), manajer sebuah kafe di Kebayoran, Jakarta Selatan menganggap bahwa besaran royalti lagu sebesar Rp 60.000 per kursi terlalu memberatkan dan tidak sesuai dengan kemampuan pelaku usaha kecil.

“Langganan Spotify tidak terlalu mahal,” kata Eca saat diwawancarai, Selasa (5/8/2025).

Di kafe yang dijalankan oleh Eca, jumlah kursi mencapai 36. Oleh karena itu, total royalti yang perlu dibayarkan jika kafe memainkan lagu-lagu Indonesia bisa melebihi Rp 2 juta setiap tahunnya.

“Kami hanya mampu maksimal Rp 500.000 per tahun,” katanya.

Sejak isu pembayaran royalti muncul, Eca tidak lagi memainkan lagu-lagu dari musisi Indonesia di kafenya.

“Tidak sementara memainkan lagu lokal. Saya takut tertipu. Jadi lebih baik memutar lagu Inggris atau suara burung,” katanya.

Menurut Eca, keputusan tersebut diambil karena pemilik usaha belum sepenuhnya memahami mekanisme pembayaran royalti yang kini menjadi topik perbincangan hangat.

Tanggung jawab pengelolaan musik di kafe diberikan kepada Eca. Ia memutuskan untuk bertindak dengan hati-hati.

“Saya mempelajari masalah LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional) dan menurut saya tidak efisien. Lebih baik langsung ke platform streaming seperti Spotify yang memang sudah pasti sampai ke para artis,” ujarnya.

Ia juga mengakui telah berbicara dengan beberapa pelaku usaha kuliner lainnya mengenai hal tersebut. Mayoritas setuju bahwa sistem pembayaran royalti sebaiknya dibuat lebih sederhana.

“Temanku mengatakan seharusnya cukup membayar ke platform saja, tidak perlu melalui lembaga kedua seperti LMKN. Jadi lebih tepat sasaran dan tidak bingung uangnya kemana,” jelas Eca.

Menurutnya, banyak pelaku UMKM merasa tidak nyaman dengan tarif royalti ini, terlebih skema negosiasi dikhawatirkan kurang jelas.

“Saya juga sempat mencari informasi, katanya ada pengecualian untuk UMKM, tapi ukurannya tidak jelas. Negosiasinya ke siapa juga tidak tahu,” kata Eca.

Terpisah, Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Dharma Oratmangun, menegaskan bahwa penggunaan segala bentuk rekaman suara tetap mengandung hak terkait yang perlu dihargai.

“Putar lagu rekaman suara burung, suara apa saja, produser yang merekamnya memiliki hak atas rekaman fonogram tersebut, jadi tetap perlu dibayar,” kata Dharma saat dihubungi., Senin (4/8/2025).

Dharma juga menegaskan, royalti berlaku tidak hanya untuk lagu dari musisi Indonesia.

Musik asing yang diputar di ruang bisnis juga wajib dipenuhi kewajibannya akibat adanya kerja sama internasional.

“Harus membayar juga jika menggunakan lagu dari luar negeri. Kita terikat dengan perjanjian internasional,” tegasnya.