, BELITUNG –Di tengah bayang-bayang lesunya pertambangan dan sektor kelautan yang semakin menurun, secercah harapan muncul dari sebuah pohon sederhana yakni kelapa.
Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, Hidayat Arsani, membawa kabar gembira, sebuah investasi senilai Rp1 triliun untuk mengubah lahan tidur menjadi sumber penghidupan baru bagi masyarakat.
Dalam pertemuan besar bersama kelompok tani di Wisma Bougenville, Tanjungpandan, Kamis (25/7/2025), Hidayat menyampaikan rencana ambisius, membangun perkebunan kelapa skala besar di Pulau Belitung dan Bangka, diikuti oleh pabrik pengolahan kelapa terbesar di Asia Tenggara.
“Kita jadikan kelapa sebagai komoditas unggulan baru, sejajar dengan timah dan karet. Jangan biarkan lahan tidur terus,” ujar Hidayat penuh semangat.
Rencana ini bukan sekadar penanaman, melainkan ekosistem terintegrasi yang mencakup:
- 1-2 juta batang bibit kelapa dalam
- Pengolahan hasil di pabrik skala industri
- Target menciptakan hingga satu juta lapangan kerja
- Sistem bagi hasil 20 persen untuk petani
- Skema tumpang sari sementara dengan jagung atau nanas
- Jaminan pasar dan pembeli hasil panen
Penanaman tahap awal akan dimulai dari 200 ribu batang bibit, dengan proyek yang berjalan dalam 15 hari ke depan setelah penyelesaian kerja sama.
Masyarakat Terlibat, Lahan Tidur Dimanfaatkan
Berbeda dengan pola investasi konvensional, masyarakat tidak perlu menjual lahannya. Cukup menyediakan lahan dan membersihkannya, sementara bibit, perawatan, dan pemasaran ditanggung oleh investor.
“Jika dari 1 hektar bisa ditanam 180 pohon, masyarakat bisa mendapatkan sekitar Rp36 juta dari bagi hasil,” jelas Gubernur.
Kelompok tani pun menyambut positif.
Abdulrahman, Ketua Kelompok Tani Selendang Mitra Mandiri, mengapresiasi rencana tersebut meskipun tetap selektif dalam pemanfaatan lahannya.
“Kami siap ikut, asalkan jelas pengelolaannya dan legalitasnya. Lahan HTR yang masih produktif jangan disentuh, tapi kita bisa usulkan lahan lain,” katanya.
Wardinan, perwakilan investor, menegaskan komitmennya: tidak membeli lahan rakyat, tetapi membina dan bermitra dengan mereka.
“Lahan tetap milik petani. Kami hanya masuk dengan benih, pupuk, pendampingan, dan offtaker,” katanya.
Investor juga mendorong sistem tumpangsari dengan jagung selama masa pertumbuhan kelapa, yaitu dalam lima tahun, demi tetap memberi penghasilan kepada petani sejak awal.
Hal penting yang ditekankan adalah kejelasan legalitas lahan, agar tidak terjadi tumpang tindih atau konflik lahan di kemudian hari.
Hidayat menyebut proyek ini sebagai langkah strategis, bukan hanya dari sisi ekonomi, tetapi juga ilmu pengetahuan dan lingkungan.
“Pabrik nanti akan menyerap 5.000 tenaga kerja untuk pengolahan. Dan kami akan melibatkan akademisi untuk mendampingi dari sisi teknis dan keberlanjutan,” katanya.
Langkah ini merupakan respons nyata terhadap tantangan ekonomi pasca-boom tambang, serta mempersiapkan masa depan Bangka Belitung yang lebih hijau dan kompetitif.
Lebih dari sekadar proyek agribisnis, bagi sebagian masyarakat, program ini adalah alternatif kehidupan. Ketika hasil tambang mulai menipis dan nelayan kesulitan melaut karena cuaca yang tidak menentu, pohon kelapa bisa menjadi solusi jangka panjang.
“Kelapa ini bukan proyek sementara. Ini warisan untuk anak cucu. Semoga Allah meridhoi usaha kita,” tutup Hidayat.(Dede Suhendar/Adelina Nurmalitasari)