Menjelang akhir Program Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (P3MD), para pendamping desa menghadapi pertanyaan mendasar: warisan apa yang akan ditinggalkan? Di tengah rutinitas laporan dan target teknis, tantangan sesungguhnya adalah menanam jejak yang akan terus bertahan.
Program P3MD bukan sekadar urusan administratif atau kegiatan jangka pendek. Ia merupakan ruang strategis untuk membangun daya masyarakat dari dalam. Ketika program ini perlahan mendekati garis akhir, justru menjadi saat penting untuk merefleksikan arah dan mempertajam kembali peran pendamping desa.
Karena, kualitas akhir sebuah program tidak ditentukan oleh panjang durasinya, tetapi oleh jejak yang ditinggalkan dalam kesadaran kolektif dan sistem yang hidup serta bekerja di tengah masyarakat desa. Di situlah letak makna keberlanjutan yang sebenarnya dari sebuah intervensi pembangunan.
Pendampingan pada hakikatnya merupakan proses menemani warga desa mengenali kekuatan mereka, memupuk kesadaran kritis, serta memanfaatkannya dalam pembangunan yang adil, inklusif, dan berkelanjutan. Di situ, setiap warga terlibat aktif merancang masa depan secara mandiri, bermartabat, dan berbasis pada potensi lokal.
Warisan terbaik dari pendamping desa bukanlah laporan tebal atau hasil fisik yang segera usang. Namun berupa sistem yang berjalan, nilai yang hidup, dan praktik baik yang dapat direplikasi. Karena itu, di akhir program justru dibutuhkan semangat awal yang baru dan menyala.
Saat desa sudah memiliki semangat kemandirian dan warga yang terorganisir dalam proses pembangunan, di sanalah sesungguhnya jejak pendamping desa mulai abadi. Kepergian pendamping tak akan diratapi, sebab yang tertinggal adalah kapasitas yang terus tumbuh.
Peraturan Menteri Desa Nomor 3 Tahun 2025 menjadi titik penting yang menegaskan arah baru dalam pendampingan desa. Regulasi ini secara eksplisit menyatakan bahwa SDGs Desa bukan hanya tambahan, tetapi harus diintegrasikan dalam seluruh proses pendampingan.
Dengan dikeluarkannya peraturan tersebut, seluruh tahapan kerja pendamping—dari perencanaan hingga evaluasi—harus sejalan dengan prinsip dan tujuan SDGs Desa. Ini menandai perubahan paradigma dari sekadar fasilitator proyek menuju agen perubahan sosial.
Bersama dengan Permendesa Nomor 4 Tahun 2023 tentang tugas pokok pendamping desa, posisi dan fungsi pendamping semakin diperkuat. Mereka tidak hanya sebagai pelaksana, tetapi juga sebagai pembina, pelatih, dan pencatat denyut pembangunan desa yang sebenarnya.
Peran pendamping kini mencakup pembinaan terhadap Pendamping Lokal Desa (PLD) dan Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD), serta pelaporan melalui Daily Report Pendamping (DRP) yang mencerminkan proses, bukan sekadar hasil.
Regulasi ini menjadi peluang emas bagi para pendamping untuk memperbaiki praktik dan meningkatkan kualitas pendampingan. Namun, semua tergantung pada kesadaran pendamping itu sendiri: apakah memilih menjadi pelengkap administrasi atau penjaga nilai pemberdayaan.
Sebelum adanya integrasi SDGs Desa dalam regulasi, para pendamping sesungguhnya telah mulai mengenal pendekatan berbasis data sejak 2021. Saat itu, pemutakhiran data SDGs Desa dilakukan secara masif di tingkat RT, keluarga, dan warga.
Proses tersebut tidaklah ringan. Pendamping harus menjelaskan manfaat data kepada warga, mendampingi enumerator, hingga memastikan kualitas isian. Tapi dari situ, desa mulai belajar bahwa data bukan hanya beban, melainkan aset untuk mengambil keputusan.
Dengan data mikro yang dikumpulkan, desa dapat melihat masalah secara lebih jelas dan lokal. Misalnya, masalah gizi buruk atau anak putus sekolah dapat diidentifikasi secara individu, bukan hanya berdasarkan statistik.
Inilah yang membedakan pendampingan pasca-2020 dengan fase sebelumnya. SDGs Desa mendorong pendekatan yang lebih kontekstual dan holistik, yang membutuhkan pendamping yang mampu membaca data sekaligus mampu mengartikulasikannya dalam perencanaan.
Jika desa mampu mengelola data dan menyusun rencana berbasis informasi yang akurat, maka pemberdayaan bukan lagi sekadar jargon, tetapi kenyataan. Di sinilah letak kekuatan data: sebagai alat yang memungkinkan warga mengambil kendali atas masa depan mereka.
Perjalanan program P3MD sejak awal telah menyimpan dinamika yang panjang: dari pendekatan teknokratik hingga memasuki wilayah transformasi sosial. Pendamping bukan lagi hanya pelaksana teknis, tetapi menjadi bagian dari arsitek perubahan.
Dalam konteks SDGs Desa, tugas pendamping adalah menerjemahkan 18 tujuan tersebut ke dalam bahasa lokal yang dapat dipahami oleh warga. Bagaimana desa bebas dari korupsi? Bagaimana perempuan memiliki ruang partisipasi? Semua hal itu harus dijawab melalui proses belajar bersama.
Pendamping juga diharapkan menjadi penjaga nilai: transparansi, inklusi, dan keberlanjutan. Nilai-nilai tersebut harus terus dinyalakan di forum-forum desa, musyawarah, dan praktik harian pembangunan. Bukan sekadar disampaikan, tetapi diteladankan.
Tugas itu tentu berat, terlebih dalam sistem yang terkadang masih belum mendukung. Tapi justru di titik inilah jejak pendamping akan diukur. Apakah ia mampu menyalakan obor perubahan yang akan terus menyala, bahkan setelah ia tiada?
Akhir dari program bukan berarti akhir dari perjuangan. Jika pendamping berhasil menanamkan sistem yang adil, nilai-nilai luhur, dan kekuatan yang menggerakkan, maka perannya akan terus hidup dalam setiap langkah desa yang berkembang. Ia tidak pergi, tetapi menanamkan jejak.
Akhirnya, program P3MD memang mendekati akhir, tetapi warisan terbaik justru sedang dirancang hari ini. Melalui SDGs Desa, data mikro, dan penguatan nilai pemberdayaan, para pendamping punya kesempatan menulis sejarah. Sebuah sejarah tentang desa yang tidak hanya tumbuh, tapi tumbuh bersama rakyatnya.