Menenun Mimpi Menjadi Dokter dari Balik Dinding Panti Asuhan

JEMBER,– “Saya merasa dibuang”

Ungkapan itu sering muncul di benak Adelia Safitri sejak pertengahan 2023, ketika keluarganya memasukkannya ke Panti Asuhan Attafakur Putri di Sumbersari, Jember. Saat itu, ia belum tahu mengapa berada di sana.

“Dulu saya dioper-oper, ikut kakaknya ibu ke Jakarta, adiknya ibu ke Semarang, akhirnya saya dibawa ke Jember diperintahkan keluarga ayah, tinggal bersama nenek,” kenangnya, menghela napas panjang, Sabtu (26/7/2025).

Adelia sekarang berusia 14 tahun. Kedua orangtuanya telah lama meninggal. Setelah lulus SD, keluarganya memutuskan untuk memasukkannya ke pesantren. Namun, ternyata tempat itu adalah panti asuhan.

“Tapi ternyata (baru tahu) kalau panti asuhan saat baru datang. Mau bagaimana lagi enggak bisa menolak,” katanya.

Sejak ibunya meninggal karena komplikasi penyakit, Adelia menaruh harapan besar untuk menjadi seorang dokter.

“Secara sederhana, agar bisa menjadi penyebab kesembuhan orang-orang yang sakit,” katanya.

Impian itu ditanam dengan kuat. Ia ingin kuliah di Universitas dr Soebandi (UDS) Jember. Kakaknya, yang bekerja di pabrik sosis di Sidoarjo, memberikan arahan.

“Tidak melarang kamu memiliki cita-cita, tapi kuliah itu mahal. Jika ingin ke sana (UDS), coba cari beasiswa,” kata Adelia menirukan pesan kakaknya.

Di tengah keterbatasan, Adelia terus belajar agar prestasinya bagus. Ia bertekad kelak bisa bekerja sambil kuliah. Di sekolah, ia sering mendapat pertanyaan tentang statusnya sebagai anak panti. Hal itu menyakitinya.

“Saya jawab singkat tapi ingin menangis,” katanya.

Namun, Adelia selalu mengingat tekadnya yang besar.

“Saya harus sukses lebih dari kakak saya, saya harus bisa meningkatkan derajat kakak,” katanya sambil meneteskan air mata.

Saat rasa kesepian dan rindu menghampiri, Adelia memilih untuk diam. Di balik dinding rumah penitipan anak, ia perlahan menerima takdirnya sebagai anak yatim piatu.

“Kadang muncul, hilang, muncul kembali, hilang lagi,” katanya pelan, mengingat perasaan menjadi anak yang ditempatkan di panti.

Namun, waktu dan aktivitas di panti mengubahnya. Ia mulai merasakan arti kebersamaan.

“Bisa punya saudara, teman, dan adik banyak di sini. Bisa berbagi cerita,” katanya.

Hari-harinya kini sibuk. Setelah sekolah, ia mengulang (mengingat kembali) hafalan Al Quran, membaca ayat-ayat Al Quran, dan membaca surat Ar-Rahman, Al-Mulk, Al-Waqiah, dan As-Shaf.

Meski hanya bisa memegang ponsel pada hari Senin dan Minggu, ia tetap menyisihkan waktu untuk membaca novel dan buku sejarah.

Dulu, Adelia pernah memberontak.

“Awalnya sering berontak, ketika diberi nasihat tidak mau menerima, selalu merasa benar,” kata Dety Heryati, bendahara sekaligus pengasuh di panti tersebut.

Namun setelah Idul Adha, perlahan Adelia berubah. Ia mulai terbuka, bahkan menceritakan kemarahannya terhadap keluarga karena merasa dibuang.

“Saya menimpali bahwa ini bukan secara kebetulan, ini rencana Allah,” kata Dety.

Dety dan pengurus lainnya terus memberi motivasi kepada anak-anak asuh. Mereka berkomitmen untuk mendampingi hingga menjadi sarjana.

“Semuanya harus sampai kuliah, kami menjamin pendidikan mereka sampai sarjana,” kata Dety.

Kini, Adelia tidak lagi merasa sepenuhnya sendiri. Ia sedang belajar bersyukur. Menemukan rumah baru, tempat untuk tumbuh dan terus bermimpi.