BPS: Pengeluaran di Bawah Rp609.160 Bulanan Jadi Tanda Kemiskinan

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa rata-rata garis kemiskinan nasional pada bulan Maret 2025 mencapai Rp 609.160 per orang per bulan.

Nominal ini ditetapkan sebagai batas pengeluaran paling rendah agar masyarakat dapat memenuhi kebutuhan pokok hidup, baik dalam hal makanan maupun yang tidak terkait makanan.

Dengan mengasumsikan rata-rata jumlah anggota keluarga sekitar 4,72 orang, maka keluarga dianggap miskin jika pengeluarannya kurang dari Rp 2.875.235 per bulan.

“Garis kemiskinan ditentukan melalui pengeluaran kebutuhan pokok keluarga, baik untuk makanan maupun non-makanan,” kata Deputi Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono, dalam pernyataannya, Jumat (25/7/2025).

Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) bulan Maret 2025, angka kemiskinan nasional tercatat sebesar 8,47 persen, turun dibandingkan 8,57 persen pada September 2024. Jumlah penduduk yang hidup dalam kemiskinan juga berkurang menjadi 23,85 juta jiwa.

Ateng menekankan perlunya kesadaran masyarakat terhadap makna serta prosedur di balik angka-angka kemiskinan.

“Pada pencacahan Susenas, yang kita catat adalah keluarga. Sekitar 345.000 keluarga menjadi sampel pada Maret 2025,” ujar Ateng.

BPS menyampaikan bahwa angka garis kemiskinan yang dikeluarkan merupakan rata-rata nasional, sementara setiap wilayah memiliki batas kemiskinan yang berbeda, yang ditentukan oleh harga dan kebiasaan pengeluaran masyarakat setempat.

Kemiskinan di Wilayah Perkotaan Meningkat, Sementara di Wilayah Pedesaan Menurun

Persentase kemiskinan di daerah pedesaan mencapai 11,03 persen, sedangkan di perkotaan sebesar 6,73 persen.

BPS melaporkan bahwa angka kemiskinan di daerah pedesaan mengalami penurunan, sedangkan di perkotaan mengalami peningkatan dibandingkan bulan September 2024.

Angka Kedalaman Kemiskinan (P1) naik di daerah perkotaan dan turun di wilayah pedesaan.

Ini menunjukkan bahwa rata-rata perbedaan pengeluaran penduduk miskin terhadap batas kemiskinan semakin bertambah di daerah perkotaan, namun semakin berkurang di wilayah pedesaan.

Angka Tingkat Keterpurukan Kemiskinan (P2) juga mengalami kenaikan di daerah perkotaan dan penurunan di wilayah pedesaan.

Maknanya, ketidakseimbangan pembagian pengeluaran di kalangan penduduk miskin di kota semakin memburuk, sedangkan di pedesaan mengalami penurunan.

Sebaran Wilayah: 18 Provinsi Berada di Bawah Rata-rata Nasional

Secara geografis, pada Maret 2025, terdapat 18 provinsi yang memiliki tingkat kemiskinan lebih rendah dibandingkan tingkat kemiskinan nasional, sedangkan 20 provinsi lainnya memiliki tingkat kemiskinan lebih tinggi dari angka nasional.

Persentase kemiskinan tertinggi tercatat di Papua Pegunungan, mencapai 30,03 persen, sementara tingkat kemiskinan terendah ada di Bali, yaitu sebesar 3,72 persen.

Kemiskinan ekstrem berkurang menjadi 0,85 persen

BPS kali pertama mengumumkan data kemiskinan ekstrem bersamaan dengan angka kemiskinan nasional.

Tindakan ini merupakan wujud komitmen Badan Pusat Statistik (BPS) dalam menjalankan perintah Inpres Nomor 8 Tahun 2025 mengenai pemanfaatan optimal pelaksanaan penanggulangan kemiskinan dan penghapusan kemiskinan ekstrem.

Persentase penduduk miskin ekstrem di Indonesia pada bulan Maret 2025 mencapai 0,85 persen, yang setara dengan 2,38 juta jiwa.

Kondisi ini lebih baik dibanding bulan Maret 2024, ketika tingkat kemiskinan ekstrem mencapai 1,26 persen atau sekitar 3,56 juta orang.

Ketimpangan Juga Menyempit

Bersamaan dengan data kemiskinan, BPS mencatat bahwa angka ketidaksetaraan di Indonesia juga mengalami penurunan.

Ketidaksetaraan ini diukur menggunakan rasio gini, yang memiliki rentang angka dari 0 hingga 1. Semakin tinggi angka rasio gini menunjukkan tingkat ketimpangan yang lebih besar.

Pada bulan Maret 2025, angka rasio gini mencapai 0,375, mengalami penurunan dibandingkan angka 0,381 pada September 2024.

Sementara itu, ketimpangan di perkotaan pada Maret 2025 mencapai 0,395, turun 0,007 poin dibandingkan September 2024.

Di sisi lain, ketimpangan di daerah pedesaan tercatat sebesar 0,299, turun 0,009 poin dibandingkan periode sebelumnya.

Secara geografis, terdapat 31 provinsi yang memiliki tingkat ketidaksetaraan di bawah rata-rata nasional, sedangkan 7 provinsi lainnya memiliki tingkat ketidaksetaraan di atas rata-rata nasional.

Angka ketimpangan tertinggi tercatat di DKI Jakarta sebesar 0,441, sementara tingkat ketimpangan terendah terjadi di Kepulauan Bangka Belitung dengan angka 0,222.

/Kompas.com